Ronald Rofiandri kembali menjadi pembicara dalam konferensi pers Kajian Penafsiran UU Ormas oleh Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB). Acara itu memaparkan segala temuan dan penafsiran KKB terhadap UU Ormas kepada rekan-rekan media. Kajian itu bersifat objektif karena memperhitungkan juga pandangan mereka yang terlibat dalam kelahiran UU Ormas. Acara yang digelar di Kedai Tjikini, Jakarta, pada Rabu, 19 September 2013, menjelaskan audiens bahwa kajian itu menggunakan dua pendekatan; tekstual dan kontekstual.
Bacaan kontekstual dijelaskan oleh Fransisca Fitri (Koordinator KKB) yang memaparkan alasan-alasan mendasar terbentuknya UU Ormas, yaitu berdasarkan Rapat Kerja Gabungan antara DPR dan Pemerintah pada 30 Agustus 2010. Rapat itu merekomendasikan RUU Ormas, yang ternyata sebagian besar alasannya berdasarkan kekerasan oleh ormas. “Akar permasalahan kekerasan ada pada penegakan hukum yang lemah. Sudah ada pasal-pasal di KUHP yang mencegah terjadinya kekerasan, termasuk yang dilakukan oleh ormas; tidak ada kekosongan hukum,” ujar Fransisca, yang menunjukkan ketidakperluan UU Ormas dalam menangani kekerasan.
Ronald lalu melanjutkan dengan menjelaskan bacaan tekstual yang berdasar pada naskah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. “Dari 87 pasal, hanya 48 yang kami nilai terkait dengan pengaturan ormas. Selebihnya sudah diatur dalam konstitusi, KUHP, KUHAP,dan yang lainnya.” Ia bahkan mengatakan bahwa 48 pasal itu bersifat administrative dan tidak perlu ada pada level undang-undang. “Ketidakhadiran pasal-pasal itu tidak akan mempengaruhi ruanggerak dan keberadaan Ormas.” Ia pun mengkategorisasi tujuh “penyakit umum” dalam undang-undang di Indonesia dan menekankan pada salah satunya, yaitu “norma yang multitafsir” yang rawan untuk disalahgunakan. Pembahasan itu mengajak kita melihat kembali kerancuan definisi ormas itu sendiri, yang akhirnya akan mengancam kebebasan berserikat dan berkumpul. (AW)