JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting menilai bahwa wacana tentang biaya sosial bagi terpidana korupsi yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi perlu ditindaklanjuti oleh Pemerintah dan DPR.
Sebab, wacana tersebut bisa menjadi langkah konkret dalam menindak korupsi.
Selain itu, kata Miko, hingga kini belum ada aturan yang ada selama ini tidak menampung soal kerugian sosial (social cost) akibat tindak pidana korupsi.
“Oleh karena itu, butuh payung regulasi dalam bentuk undang-undang untuk mengakomodasi wacana itu menjadi norma hukum,” ujar Miko saat dihubungi, Kamis (15/9/2016).
Kemudian, lanjut miko, pilihan yang paling tepat menindaklanjuti wacana tersebut adalah dengan memasukkan regulasinya ke dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Selain itu, tambah Miko, biaya sosial yang akan dibebankan kepada koruptor juga perlu diatur secara ketat.
Hal itu agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari. “Diatur secara ketat parameter dan variabel apa saja yang bisa digunakan untuk mengukur kerugian sosial tadi,” kata dia.
Sebelumnya, dikutip Harian Kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat.
Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia. Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit.
Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.
Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi.
Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.
Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.
Biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti kerugian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.
Penulis : Fachri Fachrudin
Editor : Krisiandi
=============================================================
Sumber : http://www.kompas.com/
Terbit pada : Kamis, 15 September 2016
Tautan online: http://nasional.kompas.com/read/2016/09/15/11011681/hukuman.biaya.sosial.dianggap.langkah.konkret.berantas.korupsi