Prof. Simon Butt—profesor hukum tata negara dari University of Sydney yang sebagian besar penelitian dan spesialisasinya merupakan hukum tata negara Indonesia—banyak menjelaskan perbandingan hukum tata negara di Indonesia dengan Australia dalam menyikapi konteks hak tersirat dalam konstitusi negara masing-masing. Ia menyampaikan materi itu pada Internasional Lecture bertema “Implied Rights and Conditional Constitutionalty” yang diadakan STH Indonesia Jentera bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara se-Jakarta dan sekitarnya. Salah satu hal yang menarik baginya adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK RI) di Indonesia yang banyak memunculkan “implied rights” dalam putusan-putusannya.
Penjelasan Simon terhadap MK RI tidak hanya menyoal fungsi kelembagaan MK RI sebagai wadah untuk melakukan judicial review (JR) terhadap suatu Undang-Undang (UU) yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD), ia juga membahas pengaruh pergantian ketua MK dan susunan hakim MK terhadap karakteristik putusan yang dikeluarkan oleh MK ketika memutus perkara JR. Ia juga menyatakan bahwa putusan MK yang banyak memunculkan implied rights merupakan hal yang menarik karena sebagai negara berdasarkan hukum, Indonesia memiliki kecenderungan untuk tunduk pada peraturan yang tertulis dan dimaknai secara letterlijk. Itu berbeda dengan kondisi di Australia jenis-jenis putusan yang secara memunculkan hak tersirat cenderung banyak dikritik bahkan oleh akademisi-akademisi di sekolah hukum di Australia.
Pada acara yang dilangsungkan ada Kamis, 24 November 2016 tersebut, Simon juga menjelaskan secara detil dampak hukum dan sosial dalam putusan MK yang mengandung hak tersirat. Contoh yang digunakan olehnya adalah putusan MK yang menyatakan bahwa anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan orang tua laki-laki.