Selain pelaku, pelanggaran HAM berat pada masa lalu harus diselesaikan dengan menagih pertanggungjawaban negara. Semakin hari, hal itu semakin penting dan mendesak mengingat kecenderungan negara menghindar dari pertanggungjawabannya.
Negara (dalam hal ini penyelenggaraan negara secara kolektif) adalah salah satu aktor yang bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu. Pelanggaran HAM mengandung karakteristik keterlibatan negara sehingga efek yang ditimbulkan sistematis, meluas, dan tidak sporadis. Jikapun tidak, negara tetap harus bertanggung jawab akibat gagal melindungi publik ketika pelanggaran HAM berat itu terjadi.
Pertanggungjawaban negara dapat dikejar melalui mekanisme judisial dan nonjudisial. Khusus untuk jalur judisial, pengajuan gugatan perdata (melawan hukum oleh penguasa) dapat dipertimbangkan oleh para korban. Mekanisme perdata tidak akan bisa menyeret pelaku ke meja persidangan. Namun, setidaknya, itu dapat kembali meneguhkan bahwa negara harus bertanggung jawab atas perbuatan, pengabaian, dan kegagalannya dalam pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
Beberapa poin di atas disampaikan oleh Miko Ginting, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera), sebagai narasumber dalam diskusi ““Penegakan Hukum dan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu: Sebuah Nyali untuk Hak Asasi”. Acara itu diselenggarakan pada Rabu, 18 Januari 2017 oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) sebagai peringatan 10 tahun Aksi Kamisan. Bertempat di Aula Komisi Yudisial-Jakarta, para aktivis, akademisi, tokoh masyarakat, pemerintah, hingga jurnalis berkumpul untuk meretas jalan penyelesaian pelanggaran berat HAM pada masa lalu.