“Kriminalisasi’ menjadi salah satu kata yang kini kerap terdengar di ruang publik. Kata “kriminalisasi’ terucap untuk perkara buruh pabrik di Makassar yang dituduh mencuri sandal bolong, namun juga untuk menunjuk kasus kriminalisasi komisioner KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah hingga Bambang Widjojanto dan Abraham Samad.
Permasalahan kriminalisasi ini terletak pada perspektif penyusunan kebijakan dan pada tataran eksekusi. Apabila dari hulu sudah bermasalah, problemnya akan mengalir sampai ke hilir. Kita bisa melihat dari sisi perspektif terlebih dahulu dari sisi legislasi. Dari data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), bahwa dari 49 regulasi sejak 2014 hingga 2017, 34 diantaranya memiliki pasal pidana baru di luar KUHP. Hal ini berarti setiap tahun Negara menemukan alasan baru untuk menghukum warganya.
“Pemerintah perlu melakukan moratorium pembentukan peraturan-perundangan yang mencantumkan sanksi pidana, baik di tingkat pusat maupun daerah” ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Gita Putri Damayana, dalam Siaran Pers tentang Seruan Penghentian Kriminalisasi, di Jakarta (21/2).
Dalam kesempatan tersebut, dua belas organisasi masyarakat sipil (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kiara, Konsorsium Pembaruan Agraria, Kontras, LeIP, Perempuan Mahardika, Perludem, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Solidaritas Perempuan, Walhi, Yappika, YLBHI) juga mendesak Pemerintah untuk menggunakan alternatif penyelesaian sengketa di luar instrumen pidana, mengedepankan HAM termasuk Hak Perempuan dalam penyelesaian konflik agraria, mengedepankan sikap persuasif dan akomodatif, serta inklusif, sensitive dan responsive gender ketika berhadapan dengan masyarakat yang sedang memperjuangkan hak-haknya dan menggunakan instrumen pidana sebagai upaya terakhir penegakan hukum (ultimum remedium).