Seharusnya penyederhaan regulasi yang dilakukan DPR dan pemerintah melihat secara luas peta regulasi di berbagai sektor.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengakui praktik pembuatan peraturan perundang-undang masih belum efektif dan optimal. Sebab, masih terdapat peraturan perundang-undangan yang belum harmoni, tumpang tindih, dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, DPR memandang perlu reformasi penyederhanaan regulasi berbagai peraturan perundang-undangan.
“Perlunya reformasi penyederhanaan regulasi menuju peraturan perundang-undangan yang lebih efektif dan efisien,” ujar Ketua DPR Bambang Soesatyo saat menerima kunjungan dari Sekretariat Kabinet (Setkab) di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (24/10/2018) kemarin.
Bambang menerangkan tujuan utama reformasi penyederhanaan berbagai peraturan perundang-undangan untuk menghindari tumpah tindih atau pertentangan berbagai jenis peraturan. Seperti, tumpang tindih antar undang-undang (UU); antara UU dengan peraturan di bawahnya; antar peraturan pemerintah (PP); dan peraturan menteri dengan peraturan di atasnya, PP dan UU.
Namun, dia mengakui untuk mewujudkan reformasi penyederhanaan regulasi dibutuhkan komitmen yang kuat terutama oleh DPR dan pemerintah. Sebab, reformasi penyederhanaan regulasi menjadi pekerjaan besar karena berbagai jenis peraturan perundang-undangan jumlahnya puluhan ribu.
“Ini mesti diinventarisir dan menyisir pengaturan yang sama antar UU dan peraturan lain di bawahnya,” kata Bambang.
Pria yang akrab disapa Bamsoet ini, menilai terdapat empat permasalahan regulasi di Indonesia. Pertama, menggemuknya peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan. Ketiga, kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan tidak berbanding lurus dengan kualitas materi muatannya. Keempat, database peraturan perundang-undangan yang tersebar mengakibatkan sulitnya diakses publik.
Menurutnya, kondisi tersebut salah satunya disebabkan ego sektoral lembaga dan tidak optimalnya koordinasi antar pemangku kepentingan. Baginya, parameter kesuksesan di sektor hukum dinilai dari aspek keberhasilan pemerintah membenahi regulasi dan menata ulang berbagai aturan yang ada. “Lembaga legislastif telah memulai pembenahan berbagai regulasi,” klaimnya.
Melalui Badan Keahlian Dewan (BKD), alat kelengkapan DPR telah melakukan kerja sama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Wujudnya, melakukan legislative review berbagai UU yang tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah seharusnya memiliki kewenangan melakukan perubahan terhadap peraturan perundangan. “Pemerintah juga harus melakukan hal yang sama,” harapnya.
Deputi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Sekretariat Kabinet (Setkab) Fadlansyah Lubis mengatakan pemerintah pun memiliki itikad yang sama dengan DPR. Karenanya, Setkab bakal segera menggelar kegiatan mulai seminar dan simposium. Tujuannya, mencari jalan keluar atas permasalahan penyederhaan regulasi dalam penataan kelembagaan.
Melihat peta regulasi
Terpisah, Direktur Riset dan Inovasi, Pusat Studi Kebijakan Hukum (PSHK) Indonesia Rizky Argama melihat gagasan reformasi regulasi secara luas memang menjadi prioritas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hanya saja, program ini masih fokus pada penyederhaan regulasi di sektor ekonomi, khususnya upaya mempermudah prosedur perizinan agar demi masuknya para investor ke Indonesia.
“Kalau kita lihat lebih jauh yang dilakukan Kementerian Koordinator Perekonomian, perbaikan regulasi masih sektoral. Titik awalnya banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap menghambat investasi. Kemudian peraturan lain seperti Permen, Perpres dan UU yang dianggap tumpang tindih dan menghambat,” ujarnya kepada Hukumonline.
Menurutnya, penyederhaan regulasi yang dilakukan pemerintah memang positif. Tetapi, belum melihat secara luas peta regulasi yang ada di Indonesia. Sektor penegakan hukum, misalnya, penyusunan hingga pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dilakukan DPR dan pemerintah mesti dinilai positif.
Hanya saja pelibatan elemen masyarakat dalam pembahasan RKUHP ini dirasa masih kurang maksimal. Apalagi, DPR dan pemerintah sempat “ngebut” untuk menyelesaikan dan mengesahkan RKUHP sebagai kado ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang pada akhirnya kandas.
“Tapi, kita bisa lihat itu salah satu keberhasilan penyederhaan regulasi di salah satu sektor. Makanya, penyederhaan regulasi semestinya melihat peta berbagai macam regulasi di semua sektor. Apalagi, jumlah regulasi di Indonesia mencapai 20 ribuan,” kata dia.
Dia menambahkan dalam kurun lima tahun ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). melalui RPJMN itulah semestinya memasukan program penyederhanaan regulasi yang ada di Indonesia. Dengan begitu, Bapennas menjadi leading sector dalam memimpin proses perencanaan penyederhaan regulasi. “Paling tidak bisa menentukan arah politik regulasi pemerintah itu seperti apa. Pemerintah harus menentukan politik legislasi, maunya gimana?”
Sumber:
Media: hukumonline.com
Tanggal: 26 Oktober 2018