Dalam program penataan regulasi nasional, banyak persoalan yang terungkap. Peraturan yang saling tumpah tindih tak selamanya bisa diselesaikan dengan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Egosektoral dalam proses pembentukan peraturan yang lebih teknis bahkan tidak mudah diselesaikan, sehingga Pemerintah membentuk mekanisme penyelesaian non-litigasi melalui Kementerian Hukum dan HAM. Mekanisme ini untuk menyelesaikan sengketa antarnorma perundang-undangan.
Dengan melihat kondisi riil penataan regulasi, Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sekretariat Kabinet, Fadlansyah Lubis, mengusulkan penataan kelembagaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Saat bertandang ke ruang Ketua DPR, Bambang Soesatyo, Rabu (24/10) lalu, Fadlansyah mengusulkan adanya lembaga tunggal di bidang legislasi.
Fadlansyah memang tak merinci bagaimana bentuk lembaga tunggal dimaksud. Tetapi eksistensinya dianggap penting dalam proses penyusunan regulasi yang tidak tumpang tindih. Dalam pembentukan Undang-Undang, misalnya, proses menuju ‘persetujuan bersama’ antara DPR dan pemerintah tak semudah membalik telapak tangan. Selain itu, Pemerintah menanggung beban untuk menyederhanakan ribuan peraturan teknis. Dalam upaya itu, kewenangan Pemerintah ‘memangkas’ regulasi yang bertentangan dengan Undang-Undang telah ‘dipangkas’ lewat putusan Mahkamah Konstitusi.
(Baca juga: Perlu Komitmen Kuat untuk Reformasi Penyederhanaan Regulasi).
Sekilas, Fadlansyah mengatakan lembaga tunggal itu kelak memiliki tugas dari hulu ke hilir, mulai dari perencanaan, penyusunan, perumusan, harmonisasi, sosialisasi, hingga revisi. Ia menunjuk keberadaan lembaga sejenis di beberapa negara, seperti The Office Information and Regulatory Affairs (OIRA) di Amerika Serikat; The Office of Best Practice Regulation (OBPR) di Inggris; Cabinet Legislation Bureau (CLB) di Jepang; dan Ministry of Government Legislation (MoLeg) di Korea Selatan.
Di Indonesia, sebenarnya sudah ada Kementerian Hukum dan HAM yang tugas-tugasnya dimulai dari perencanaan hingga pembahasan dengan DPR, atau harmonisasi lintas kementerian dan lembaga. Fadlansyah mengisyaratkan Indonesia berpeluang mengadaptasi model pembentukan regulasi di Korea Selatan. “Mereka yang paling mendekati karakteristik Indonesia,” ujarnya di Kompleks Gedung Parlemen.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menyambut positif gagasan Fadlansyah karena gagasan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah mempersiapkan penataan kelembagaan. Lembaga tunggal yang mengurus pembentukan peratuan perundang-undangan diharapkan dapat mengurangi hambatan dalam pembahasan. Bamsoet, panggilan lazim Bambang Soesatyo, mengakui kesulitan koordinasi dengan Pemerintah dalam penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang. “Keberadaan lembaga tunggal tersebut akan menjadi salah satu solusi menuju harmoninya berbagai peraturan,” tukas politisi Partai Golkar itu.
(Baca juga: Mengintip Terobosan Executive Review ala BPHN Lewat Rencana Aksi Penataan Regulasi).
Terpisah, Direktur Riset dan Inovasi, Pusat Studi Kebijakan Hukum (PSHK) Indonesia Rizky Argama berpandangan aspek legislasi sedianya tetap menjadi kekuatan bagi DPR secara kelembagaan. Menurutnya gagasan pembentukan lembaga tunggal di bidang legislasi ditekankan pada organisasi pemerintahan. Pemerintah sudah mesti menetapkan arah politik regulasi ke depan. “Tentu nanti ada negosiasi dengan DPR di tahap politisnya. Tetapi tahap teknisnya mestinya sudah direncanakan dengan baik,” ujarnya.
Menurut pria yang biasa disapa Gama ini, gagasan pembentukan lembaga legislasi independen di pemerintah merupakan ide baru. Namun ide tersebut sebenarnya sudah pernah diusulkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2012 ketika memberikan rekomendasi pembenahan komprehensif peta regulasi di Indonesia.
Upaya yang dapat dilakukan adalah mendirikan satu institusi tersendiri dan berada langsung di bawah presiden. Sebab dengan begitu, kata Gama, Pemerintah dapat melakukan reformasi regulasi secara keseluruhan. Tetapi, tegas Gama, sebenarnya Indonesia sudah punya lembaga yang mengurus. Fungsi perencanaan, penyusunan hingga monitoring dan evaluasi peraturan perundang-undangan dilakukan oleh Kemenkumham, dan secara khusus Badan Pembinaan Hukum Nasional, di bawah Kementerian ini, bertugas sebagai perencana arah pembangunan nasional. “Apakah masih diperlukan lembaga tersendiri yang melakukan reformasi regulasi yang sudah melekat di lembaga-lembaga itu,” ujarnya.
Meskipun demikian, Gama tak menampik beban berat yang ditanggung Kemenkumham termasuk BPHN, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kemenkumham hanya memiliki satu direktorat yang mengurus seluruh peraturan perundangan. Padahal menata regulasi bukanlah pekerjaan kecil yang dapat dikerjakan oleh satu lembaga yang tugasnya tak sekadar menyusun dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Bagi Gama, terlepas perlu tidaknya mempertimbangkan membentuk lembaga baru, namun pekerjaan besar khusus di bidang regulasi berupa peraturan perundangan tak dapat ditunda. Nah sepanjang terdapat rekomendasi dari pihak yang netral, maka perlu dipertimbangkan untuk dapat menjadi landasan melangkahdalam mewujudkan penataan reformasi regulasi. “Posisi lembaga tunggal, posisinya hanya bertugas menata regulasi secara keseluruhan,” pungkasnya.
Sumber:
Media: hukumonline.com
Tanggal: 27 Oktober 2018