Siaran pers mengenai Temuan dan Catatan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU Perubahan UU MD3) memaparkan kekhawatiran koalisi terhadap nasib RUU itu. Koalisi yang dimaksud adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, yang telah memberi judul siaran pers “Perluasan Wewenang VS Skala Transparansi dan Akuntabilitas Mengecil”. Kedua hal itu menjadi topik utama pembicaraan, seperti yang dijelaskan oleh Ronald Rofiandri, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK, “Berdasarkan bacaan awal, ada dua temuan paling menonjol. Pertama, mengenai upaya DPR untuk memperkuat otoritasnya. Kedua, skala transparansi dan akuntabilitas yang mengalami penyusutan, bahkan ‘minus’,” ujar Ronald.Siaran pers juga memuat beberapa pasal yangmengkonfirmasi temuan itu.
Misalnya, Pasal 71 huruf (k) mencantumkan bahwa DPR mempunyai wewenang untuk membahas dan memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu. Sebelumnya, otoritas mereka hanya sebatas memberi persetujuan. Ada juga Pasal 80 yang justru menghilangkan kewajiban evaluasi fraksi terhadap kinerja anggotanya dan pelaporan kepada publik. Padahal, Pasal 80 UU MD3 sudah lebih maju karena mewajibkannya. “RUU ini mempertahankan rapat tertutup, yang seharusnya tidak ada lagi. Juga, DPR hanya diwajibkan membuat laporan kinerja pada akhir periode sehingga kinerja pada tengah periode keanggotaan tidak diketahui apa ukuran evaluasinya,” tambah Ronald.
Berdasarkan temuan tersebut, Koalisi mengusulkan beberapa pertimbangan untuk diprioritaskan oleh Panitia Khusus (Pansus) RUU Perubahan UU MD3. Ada sepuluh poin penting yang harus diperhatikan oleh Pansus dalam penyusunan RUU itu. Beberapa di antaranya: melakukan pembahasan RUU berdasarkan klasterisasi bidang, menyelenggarakan semua rapat secara terbuka, dan menempatkan satu orang perwakilan dari tiap fraksi secara lebih permanen supaya lebih intensifdan fokus untuk mengikuti rapat-rapat. (AW)