Pemenuhan kesejahteraan terhadap seluruh rakyat Indonesia merupakan salah satu agenda bersama yang hendak diwujudkan pemerintah, termasuk kesejahteraan anak. Kelompok Kerja (Pokja) kesejahteraan masyarakat dari BPHN menyelenggarakan Focus Group Discussion untuk mengeksplorasi masalah serta hambatan yang terjadi dalam penjaminan kesejahteraan itu. Turut diundang pula para pemangku kebijakan, seperti Bappenas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementrian Sosial, Polisi, serta perwakilan beberapa organisasi sipil masyarakat. Dari beberapa narasumber yang hadir, PSHK diwakilkan oleh Gita Putri Damayana yang memberikan pandangannya mengenai “Kebijakan Perlindungan Anak dalam RPJMD: Sekilas Refleksi Kebijakan Perlindungan Anak dengan Menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (HDI)”.
Gita memiliki perspektif bahwa terjadi tumpang tindih atau kontradiksi materi pengaturan secara vertikal maupun horizontal dalam hal kesejahteraan anak. Untuk itu, sinkronisasi kebijakan dan peraturan di tingkat nasional dengan daerah menjadi tantangan tersendiri. Harmonisasi itu berfokus pada kebijakan jangka panjang (RPJM) yang diturunkan ke tingkat daerah (RPJMD). Berdasarkan hasil pemetaan perlindungan anak oleh Unicef bersama Bappenas, agenda nasional perlindungan kesejahteraan anak tidak diterjemahkan secara komprehensif di tingkat daerah. Kebijakan daerah lebih menitikberatkan rehabilitasi ketimbang menyasar pokok permasalahan yang bisa jadi bervariatif dari satu wilayah ke wilayah lain.
Isu kesejahteraan dapat dianalisis dengan beragam indikator, salah satunya mengunakan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) sebagaimana dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS). HDI bertujuan mengukur harapan hidup, pendidikan (lama bersekolah), serta pendapatan masyarakat (PNB). Kendala yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan, khususnya anak, adalah kerentanan yang dihadapi anak itu sendiri. Dalam Rencana Aksi Nasional 2015—2019, kerentanan itu adalah kondisi yang menjerumuskan anak dalam situasi yang berujung pada kekerasan, penelantaran, dan diskriminasi. Meski akarnya beragam, secara umum, anak terjebak dalam posisi rentan karena faktor ekonomi.
Tentu perlu dilakukan penelusuran lebih jauh lagi seberapa konsisten pula penurunan kebijakan di tingkat daerah dari level perencanaan ke level eksekutorial. Refleksi perlindungan anak yang dicantumkan dalam dokumen perencanaan seharusnya bisa tercermin juga dalam capaian pembangunan di setiap daerah. Jadi, selain masalah harmonisasi kebijakan dan aturan, masalah pemerataan infrastruktur, kondisi setiap daerah yang berbeda, dan keadaan orangtua juga turut menyumbang penjaminan kesejahteraan anak. Perlu diingat, anak adalah masa depan bangsa, maka kesejahteraan anak adalah masa depan kesejahteraan bangsa ini pula.
Penulis: M. Reza Winata
Editor: Amalia Puri Handayani