Pada 18 Desember 1984, Sidang Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 39/46. Resolusi tersebut berupa konvensi yang diberi nama “The United Nation Convention Against Torture and the Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment”. Konvensi yang mulai berlaku pada 26 Juni 1987 ini juga dikenal dengan nama Convention Against Torture (CAT). Hari berlakunya konvensi tersebut sekaligus diperingati sebagai ”International Day in Support of Torture Victims” atau Hari Anti Penyiksaan Se-dunia.
Indonesia membutuhkan banyak waktu untuk melakukan ratifikasi terhadap konvensi tersebut. Baru pada 28 September 1998, Indonesia melakukan ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.
Kini, hampir 15 Tahun setelah diratifikasinya konvensi tersebut, penyiksaan masih kerap terjadi dan sebagian besar dilakukan oleh aparat kepolisian. Hal tersebut dikonfirmasi oleh penelitian LBH Jakarta, pada 2012, penyiksaan yang terjadi pada saat penangkapan sebesar 82 %, pada saat proses BAP sebesar 84 %, dan pada saat penahanan sebesar 48 %.
Salah satu masalah utamanya adalah paradigma aparatur penegak hukum yang enggan menggunakan regulasi lain diluar KUHAP dan KUHP. Sementara itu, pengaturan KUHAP sendiri sangat minim dalam mengakomodir semangat dan prinsip anti penyiksaan ini. Misalnya, tidak ada pengaturan mengenai konsekuensi hukum terhadap kekuatan alat bukti yang diperoleh dari hasil penyiksaan.
Pembahasan Rancangan KUHAP saat ini oleh Pemerintah dan DPR diharapkan mampu menyelesaikan persoalan tersebut. PSHK dan Komite Pembaruan untuk Hukum Acara Pidana (KuHAP) mendorong agar semangat dan prinsip anti penyiksaan dimasukkan dalam KUHAP nantinya. Hal ini sejalan dengan semangat pembaruan KUHAP, dimana dalam naskah akademik Rancangan KUHAP disebutkan bahwa salah satu alasan pembaruan KUHAP adalah diratifikasinya beberapa instrumen hukum internasional yang berhubungan langsung dengan hukum acara pidana setelah pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bahkan secara spesifik, naskah akademik tersebut menyebutkan bahwa instrumen hukum internasional tersebut diantaranya adalah Convention Against Torture,International Covenant on Civil and Political Rights (telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005), dan sebagainya.
Hal ini ditujukan agar penegakan hukum pidana lebih manusiawi, menghormati dan memajukan HAM, serta dilakukan dalam koridor due process of law. (MSG)