Pada Selasa, 7 Juli 2015, PSHK dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (Jentera) mengadakan konferensi pers Pembukaan Program Strata Satu Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Berlokasi di kampus Jentera, acara itu dimoderatori oleh Eryanto Nugroho sebagai Direktur Eksekutif PSHK dan juga staf pengajar Jentera. Arief T. Surowidjojo selaku dewan pembina YSHK dan pendiri IJSL memberikan sambutan di awal acara. Ia menyatakan bahwa carut marut yang terjadi dalam dunia hukum Indonesia adalah karena lemahnya pendidikan dasar hukum. Oleh karena itu, didirikanlah Jentera yang memberi perhatian khusus pada proses membangun karakter para calon mahasiswanya sebagai orang-orang hukum di kemudian hari.
Para narasumber yang hadir di hadapan media pada hari itu adalah Yunus Husein selaku Ketua Jentera, Bivitri Susanti selaku Wakil Ketua Jentera, Ahmad Fikri Assegaf dan Chandra M. Hamzah sebagai pendiri Jentera, dan Erry Riyana Hardjapamekas sebagai Dewan Penyantun Jentera. Ahmad Fikri Assegaf menceritakan kepada para jurnalis yang hadir mengenai konteks berdirinya Jentera. “Pendirian Jentera merupakan konsekuensi logis dari adanya YSHK yang sudah lama berkecimpung langsung di dunia hukum di Indonesia. Sekolah ini bukan sebuah ide yang muncul secara tiba-tiba.” Ia menekankan bahwa rule of law kini semakin menguat sehingga Indonesia membutuhkan lulusan fakultas hukum yang mampu berpikir kritis dan siap untuk menghadapi dinamisnya dunia praktik hukum, apapun profesinya.
Yunus Husein mengatakan bahwa fakultas hukum merupakan fakultas dengan jumlah terbanyak di Indonesia tetapi masalah hukum di Indonesia tak kunjung selesai. “Jentera memiliki resources yang sangat memadai dalam upaya menghasilkan sarjana hukum yang kehadirannya bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa; bahwa selain memiliki ilmu, mereka juga memiliki etika dan moral,” ujarnya.
Bivitri Susanti memberi penjelasan mengenai tiga hal yang membedakan Jentera dengan sekolah hukum lainnya. Pertama, metode belajar yang mendorong diskusi dan mendukung hubungan antara dosen dan mahasiswa untuk saling mencipta. “Kelas adalah proses menciptakan sesuatu yang baru,” ujarnya. Kedua, bahwa Jentera berada di tengah komunitas pembaru hukum. Dukungan kuat dari PSHK dan kerja sama dengan berbagai civil society organization lainnya akan membuat mahasiswa Jentera memiliki cara pikir yang berbeda. Ketiga, program magang di Jentera yang sudah memiliki beberapa kerja sama formal dengan banyak institusi dan kantor hukum. Bivitri menjelaskan bahwa “sarjana hukum perlu mengetahui dunia praktik, bukan hanya sekadar menghafal pasal-pasal saja.”
Jentera menjunjung tinggi etika dan integritas. Hal itu dipaparkan oleh Erry Riyana Hardjapamekas, yang menekankan bahwa keteladanan adalah landasan utama terciptanya kedua hal itu. “Integritas adalah payung dari berbagai hal. Walau begitu, tidak mudah dibangun; hanya dengan adanya keteladanan maka akan dapat diraih,” ujarnya. Pernyataan itu didukung oleh Chandra M. Hamzah, yang mengatakan bahwa banyak sarjana hukum yang tidak mempelajari hal yang mendasar dari hukum itu sendiri. Ia mengutarakan bahwa “kalau hal mendasar dari hukum dipahami secara betul, persoalan seperti integritas, keadilan, dan lain sebagainya dapat teratasi.”
Juga pada kesempatan itu, Bivitri sebagai salah satu staf pengajar Jentera mengumumkan mengenai program beasiswa yang ditawarkan. Ada dua skema beasiswa; Beasiswa Jentera untuk lulusan SMA/sederajat dan Munir Said Thalib Scholarship yang ditujukan kepada pegiat CSO agar dapat lebih meningkatkan kapasitasnya untuk berkontribusi pada masyarakat. Informasi mengenai kedua beasiswa itu dapat dilihat pada lamanwww.jentera.ac.id/beasiswa. (AW)