Media sosial mempunyai wajah ganda. Di satu sisi, media sosial bisa menjadi wadah seseorang untuk mengemukakan pendapatnya. Itulah yang dilakukan Wahyu Nur Pratama, pembuat petisi yang duduk di bangku SMA. Petisi melalui media sosial yang digagasnya dikabulkan. Pihak sekolah akhirnya menurunkan kamera yang diletakkan di kamar mandi sekolahnya. Di sisi lain, media sosial juga bisa membuat seseorang merasa terancam atau terisolasi. Wahyu diminta untuk menurunkan petisinya dengan alasan pencemaran nama baik. Padahal, ia sudah yakin telah melakukan hal yang benar, apalagi petisi online itu merupakan langkah akhir setelah melakukan prosedur protes yang layak. Namun, ia masih mendapat tekanan di sekolahnya; begitu ceritanya dalam acara Talk Show Social Media: Freedom vs Respect di fx, Sudirman, Jakarta dengan moderator Amita Waworuntu, Tim Media Kreatif YSHK.
Usman Hamid—pengajar STH Indonesia Jentera dan pendiri change.org Indonesia—menambahkan, jika ditarik lebih luas, media sosial justru bisa menjadi kepanjangan tangan dari negara yang otoritarian, misalnya dengan memberi tahu posisi aktivis. Jika dikategorisasikan, media sosial digunakan dalam tiga tahap, yaitu mengekspresikan pendapat; mengungkapkan kesalahan atau kejahatan dan menjadi awal gerakan protes. Biasanya, kekuasaan mulai campur tangan jika media sosial digunakan untuk tahapan kedua, apalagi ketiga, seperti yang dialami Wahyu.
“Tesis bahwa media sosial yang bisa membawa perubahan itu keliru. Itu hanya teknologinya,” ungkap Usman dalam talk show tersebut pada Minggu, 29 Mei 2016. Teknologi hanya menunjukkan relasi antarorang. Relasi sosial itulah yang justru esensial. Pernyataan yang mengatakan bahwa media sosial membawa perubahan perlu dipertanyakan kembali. Perubahan itu terjadi karena masyarakatnya turut berubah. Perubahan itulah yang perlu dilindungi oleh peraturan dan di situlah peran praktisi hukum yang dilahirkan dari mahasiswa hukum yang berintegritas. (streaming bisa ditonton melalui melalui Facebook Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera).
Perlu diingat, seperti yang Usman katakan, freedom tidak bisa hanya diterjemahkan free-nya saja; dome yang merupakan elemen penting tidak boleh dihilangkan. Ada tatanan dalam kebebasan itu sehingga tidak kebablasan. Untuk mengekspresikan pendapatnya, pengunjung Pesta Pendidikan 2016 juga bisa mengekspresikan keberanian berpendapatnya di photo booth Gallery Walk Pahlawan Pendidikan. Dengan latar belakang “Aku berani ngomong kalau…”, pengunjung bisa memilih jawaban yang sudah disediakan atau menuliskan sendiri jawabannya. Rangkaian kegiatan ini merupakan bagian dari kontribusi Yayasan Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (YSHK) dalam #pestapendidikan. (APH)