“Kebenaran akan terungkap,” Haris Azhar dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membuka pembicaraannya dengan mengutip petuah anonim. Ada beberapa cedera hak asasi manusia dalam kasus Jakarta International School (JIS) yang marak pada 2014 yang dipaparkannya dalam Diskusi dan Peluncuran Buku Melindungi Anak, Membela Kepentingan Hak Tersangka. Menurutnya, sebagai salah satu pembicara, ada proses peradilan yang tidak adil, seperti tidak diakomodasinya hak para terdakwa untuk tidak disiksa selama penyidikan. Selain itu, berdasarkan Konvensi Hak Anak, anak berhak mendapat perlindungan hukum yang sudah teruji, berintegritas, dan mempunyai otoritas yang jelas. Ia menutup pembicaraannya dengan mengusulkan proses hukum terhadap kasus JIS harus diulang.
Dilanjutkan Choky R. Ramadhan dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI), ia menyampaikan proses hukum yang terjadi tidak sesuai dengan hukum acara pidana dalam acara yang diadakan di Kampus STH Indonesia Jentera pada Rabu, 13 April 2016 tersebut. Misalnya, alat bukti yang dianggap tidak sah karena diambil dari luar negeri. Untuk reformasi peradilan, kenapa tidak disesuaikan dengan keterbatasan teknologi? Miko S. Ginting, pengajar STH Indonesia Jentera dan peneliti PSHK, menambahkan pandangannya terkait bantuan hukum terhadap para terdakwa (khususnya petugas kebersihan) yang tidak maksimal. Juga, kasus itu mengindikasikan adanya tujuan tidak baik yaitu tujuan di luar penegakan hukum dan kejanggalan yang nyata dalam proses hukumnya.
Bukan hanya itu, kasus tersebut sebenarnya bermula dari kesalahan menerjemahkan hasil laboratorium, demikianlah komentar dr. Ferryal Basbeth sebagai ahli forensik Asosiasi Ilmu Forensi Indonesia (AIFI). Anus corong yang sering disebut-sebut dalam laporan visum tidak bisa dijadikan alat bukti adanya penetrasi, seperti selaput dara yang tidak bisa dijadikan bukti adanya persetubuhan secara medis. Keterangan itu diperkuat oleh pemaparan Shinta Agustina sebagai pakar hukum pidana Universitas Andalas. Ia menjelaskan dasar-dasar hukum pidana yang luput dari proses hukum kasus JIS. Acara ini membuka ruang diskusi melalui pembahasan yang ilmiah untuk mencapai pembaruan hukum yang lebih berintegritas. Salah satu caranya adalah melihat kembali proses hukum dari berbagai perspektif, misalnya dari berbagai bidang ilmu.