“Dalam memeriksa perkara gugatan sederhana, kemampuan dan skill saya sebagai mediator sangat diuji. Ini melebihi ketika memeriksa perkara perdata biasa.” Itulah ungkapan salah seorang Hakim di Pengadilan Negeri Jember ketika menceritakan pengalamannya menangani perkara gugatan sederhana. Berbeda dengan penyelesaian perdata biasa, Hakim dalam gugatan sederhana dituntut aktif dalam memberikan keterangan yang berimbang kepada Para Pihak. Tuntutan itu muncul karena dalam gugatan sederhana, Para Pihak harus hadir di persidangan, dengan atau tanpa advokat.
Ungkapan mengenai keaktifan Hakim tersebut juga diamini oleh Para Pihak yang menjalani proses penyelesaian gugatan sederhana. Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama dengan Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) melaksanakan kegiatan monitoring pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana di beberapa wilayah; salah satunya adalah di Kabupaten Jember. Monitoring dilakukan melalui wawancara dengan pihak internal pengadilan dan Para Pihak yang pernah berperkara dalam gugatan sederhana. Selain itu, peneliti juga mengecek kelengkapan teknis dan administrasi terkait gugatan sederhana. Seluruh rangkaian kegiatan itu berlangsung selama tiga hari, 10 sampai dengan 12 Oktober 2016.
Pengadilan Negeri Jember menerima perkara gugatan sederhana sebanyak 28 perkara; terbanyak dibandingkan semua pengadilan di Indonesia. Sebagian besar dari 28 perkara itu merupakan perkara cedera janji (wanprestasi) terkait utang-piutang. Melalui gugatan sederhana, banyak perkara utang-piutang itu dapat diselesaikan secara damai. Setiap pihak, baik penggugat maupun tergugat, menegosiasikan besaran dan mekanisme pembayaran yang dapat diterima kedua pihak. Upaya perdamaian dilakukan dalam setiap persidangan oleh Hakim. Hal itulah yang jarang terlaksana dalam penyelesaian perkara perdata biasa.
Walaupun tidak mengalami kesulitan, beberapa Hakim mengaku masih harus membawa cetakan Perma Gugatan Sederhana saat persidangan. Hakim yang terbiasa dengan penyelesaian perdata pada umumnya harus memahami gugatan sederhana yang prosedurnya berbeda. Namun, pihak penggugat dan tergugat tidak merasa ada kekurangan dari keterangan yang diberikan Hakim selama proses persidangan gugatan sederhana.
Dari segi administrasi, template formulir gugatan sederhana tidak tersedia di pengadilan. Penggugat masih harus menuliskan gugatan seperti gugatan biasa. Padahal, keberadaan formulir itu ditujukan untuk memudahkan masyarakat umum dapat mengajukan gugatan, tanpa harus menggunakan jasa advokat. Pihak pengadilan berdalih penggugat sudah memahami cara membuat gugatan. Ketika digali lebih lanjut, kebanyakan dari Penggugat adalah bank, yang terbiasa membuat surat gugatan. Padahal, pengadilan harus dapat memberikan akses bagi semua pencari keadilan.
Kebutuhan orang dengan disabilitas untuk berperkara di Pengadilan Negeri Jember masih belum dapat dipenuhi. Pengadilan sebatas menyediakan bidang miring (ramp) bagi pengguna kursi roda. Sementara itu, kebutuhan orang dengan disabilitas lain belum tersedia. Petugas pengadilan menyadari kekurangan ini, tetapi tidak dapat berbuat lebih. Apalagi, orang dengan disabilitas jarang berperkara di pengadilan, termasuk dalam gugatan sederhana. Faktor minimnya orang dengan disabilitas untuk berperkara di pengadilan juga patut dipertanyakan; apakah mereka tidak memiliki perkara atau memang tidak diberikan akses untuk berperkara.
Penulis: Estu Dyah
Editor: APH