Terik matahari tengah berada di puncaknya ketika tim peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menyusuri jalan-jalan kecil untuk menemui Musa Sanjaya, pengguna pertama mekanisme gugatan sederhana di Surabaya. Bermodalkan alamat yang didapat dari petugas pengadilan, Mulki Shader (peneliti PSHK) dan Liza Farihah (peneliti LeIP) menyusuri gang demi gang di Kecamatan Tegalsari, Surabaya. Penelitian yang dilangsungkan pada 18—20 Oktober 2016 itu dilakukan untuk mengetahui pengalaman dia ketika mempercayakan penyelesaian permasalahan hukumnya dengan mekanisme gugatan sederhana di Pengadilan Negeri Surabaya.
Pada Agustus 2015, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Peraturan itu dibentuk untuk menyelesaikan perkara-perkara perdata yang bersifat sederhana dalam waktu singkat. Dengan mekanisme itu, hanya dibutuhkan waktu 25 hari sejak sidang pertama untuk menyelesaikan perkara; jauh berbeda dengan mekanisme penyelesaian perkara biasa yang dapat menghabiskan waktu bulanan, bahkan tahunan. Dengan demikian, akses atas keadilan bagi masyarakat diharapkan semakin terbuka melalui proses yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Perkara yang dialami Musa Sanjaya adalah perkara perbuatan melawan hukum, ketika truk pengangkut air menabrak kendaraan roda empat miliknya yang tengah parkir di depan rumah. Ia kemudian mengkonsultasikan perkara itu dengan salah satu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Surabaya. Pada kesempatan itu, ia diberitahukan perkaranya tergolong perkara perdata sederhana yang dapat diselesaikan dengan mekanisme gugatan sederhana. Terdapat setidaknya dua parameter yang dapat digunakan untuk mengukur kesederhanaan itu. Pertama, para pihak dalam perkara ini berjumlah dua pihak (kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama) dan harus berada pada wilayah hukum yang sama. Kedua, memiliki nilai gugatan materil paling banyak Rp200.000.000 dengan perkara terkait ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan pengalamannya bersidang, Musa Sanjaya merasakan peran hakim yang aktif dalam penyelesaian perkara gugatan sederhana. Pada awal persidangan, hakim memberikan penjelasan mengenai mekanisme gugatan sederhana dan menyepakati agenda waktu (timeline) penyelesaian perkara. Sikap aktif hakim itu dirasa sangat membantu, terutama bila para pihak tidak memiliki pengetahuan hukum yang baik. Meskipun demikian, Musa Sanjaya tetap memberikan masukan-masukan kepada tim peneliti untuk menyempurnakan mekanisme penyelesaian gugatan sederhana.
Kegiatan penelitian ini merupakan bagian dari pemantauan (monitoring) peraturan yang dilakukan oleh PSHK dan LeIP bersama dengan Kelompok Kerja Gugatan Sederhana yang dibentuk oleh Mahkamah Agung. Kegiatan ini dilakukan dengan pemikiran bahwa proses legislasi tidak seharusnya semata-mata diartikan sebagai pembuatan peraturan perundang-undangan. Dinamika setelah lahirnya suatu peraturan juga menjadi area yang harus dipantau untuk mencari tahu persoalan, seperti tumpang tindih, inkonsistensi, maupun pertentangan antarperaturan, termasuk untuk mengukur efektivitas peraturan. Temuan-temuan dalam implementasi itu akan menjadi bahan pertimbangan bagi perbaikan atau pembentuk peraturan pada masa yang akan datang.
Penulis: MS
Editor: APH