Eryanto Nugroho selaku Direktur Eksekutif PSHK diundang menjadi salah satu pembicara pada Seminar Konsil LSM Indonesia. Tema seminarnya adalah Potensi Dampak UU No. 17 tentang Ormas terhadap Organisasi Masyarakat Sipil dan Masa Depan Relasi OMS-Negara. Adapun, pembicara lain yang menyampaikan pendapat mereka terhadap isu itu: Erna Witoelar (Ketua Teman Serikat Kemitraan), Nia Elvina (Tim Ahli Kemendagri), dan Budi Santoso (Direktur Operasional Kemitraan). Seminar yang diadakan Senin, 23 September 2013 di Hotel Santika Premiere Jakarta itu kembali mensosialisasikan UU Ormas yang masih problematis. Tentu saja, Eryanto mengemukakan pendapat yang menentang adanya UU Ormas dengan didukung oleh beberapa penemuan di lapangan dan studi substansi.
“Satu Indonesia salah sangka; Ormas adalah singkatan dari Organisasi Kemasyarakatan, bukan Organisasi Massa,” ujar Eryanto. Istilah “Ormas” sendiri muncul saat pembuatan UU Ormas 1985 dalam rangka mendekatkan pemerintah dengan organisasi berbasis massa. “Hal ini memperlihatkan bahwa dalam pembuatan UU Ormas yang lama lebih mengedepankan aspek politik daripada hukum pada rezim orde baru; apakah ini masih relevan setelah adanya reformasi?”. Pertanyaan yang dilontarkan itu dilanjutkan dengan penjelasan bahwa yang harus dilakukan adalah mendorong UU Yayasan dan RUU Perkumpulan yang sudah ada dalam Prolegnas, bukannya menambah rangkaian undang-undang yang tidak perlu. “Pada intinya, yang diperlukan hanyalah penegakan hukum yang lebih ketat. Menolak UU Ormas bukan berarti menolak akuntabilitas. Kami hanya menuntut mendapat pelayanan hukum yang benar.”
Ketika berbicara mengenai relasi antara pemerintah dan Ormas, Eryanto mengatakan bahwa pendekatan pembuatan undang-undang tersebut memang keliru dari awal. “Pendekatan UU Ormas menganggap bahwa masyarakat adalah ancaman.” Akan tetapi, tidak akan ada kemajuan apabila hal itu tidak diperbaiki bersama; bukan hanya tugas pemerintah untuk memperbaiki persepsi. Pada akhirnya, peraturan itu ada untuk memberdayakan kita, bukannya mengekang. (AW)