Sebuah slide menunjukkan perempuan berhijab pada tiga situasi berbeda. Situasi pertama, seorang perempuan berbaju panjang membawa bayi dengan mengenakan burqa (penutup wajah) dalam situasi perang. Situasi kedua, seorang perempuan mengenakan baju panjang dan jilbab dengan wajah masih terlihat di sebuah lembaga pendidikan. Situasi ketiga, dua perempuan mengenakan burkini (baju renang yang menutup badan) berlarian di pinggir pantai. Pertanyaan yang diajukan, apakah semua itu merupakan kebebasan? Situasi manakah yang bisa dibatasi? Beberapa orang menyatakan bahwa hal itu merupakan kebebasan yang tidak dapat dibatasi. Namun, beberapa lainnya menyatakan bahwa kebebasan untuk menjalankan keyakinan, dalam hal ini mengenakan penutup kepala dan/atau wajah, dapat dibatasi dengan alasan ‘demi kepentingan umum’.
Situasi di atas membuka sesi pelatihan “Peningkatan Pemahaman tentang Aplikasi Kerangka Internasional dan Hukum Nasional untuk Advokasi dan Perlindungan HAM”. Kegiatan yang diselenggarakan pada 19—21 September 2016 itu ditujukan untuk Organisasi Masyarakat Sipil dan Lembaga Pemerintahan. Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) mewakili Koalisi Kebebasan Berserikat berkesempatan mengikuti kegiatan yang berlangsung di Hotel J.W. Marriot Jakarta. Topik-topik yang didiskusikan dalam kegiatan ini beragam, mulai dari aplikasi kerangka HAM internasional dan regional; hak atas peradilan yang adil (fair trial); diskriminasi gender; hingga tantangan upaya perlindungan HAM di Indonesia. Selain diskusi dari studi kasus yang diberikan, pengukuhan konsep juga disampaikan oleh Prof. David Cohen (pakar HAM), Dr Shreyasi Jha (pakar gender), dan Herlambang P. Wiratraman (pakar HAM dari Universitas Airlangga).
Pelanggaran atas satu hak berpotensi melanggar hak-hak lainnya. Itulah yang diungkapkan oleh Prof. David Cohen setelah mendengar diskusi kelompok mengenai situasi pelanggaran HAM yang dialami oleh Syiah Sampang yang diusir; warga Kendeng yang menentang keberadaan pabrik semen; dan perempuan korban perkosaan di Aceh yang secara paksa dibawa ke kantor kepolisian syariah. Negara sering kali absen dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak warganya. Ketika negara absen, organisasi masyakarakat memiliki peran untuk melakukan advokasi, baik melalui mekanisme hukum maupun mekanisme non-hukum. Dalam melakukan advokasi, terdapat usulan strategi yang disampaikan oleh Herlambang P. Wiratraman, yakni pembagian fase advokasi. Fase-fase itu terdiri dari penilaian kebutuhan, analisis, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Keberhasilan pelaksanaan advokasi HAM tidak terbatas pada pelaksanaan fase yang dikonsepkan, tetapi juga keterlibatan masyarakat dan stakeholders terkait.