Tidak begitu mudah untuk memilih dari sekian banyak usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2017. Pemerintah, DPR, dan DPD berhak mengusulkan RUU, sekaligus mendalilkan berbagai kepentingan di balik setiap usulan. Di internal DPR sendiri, fraksi-fraksi menginginkan RUU yang diusulkan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2017. Selain yang berasal dari kajian internal, fraksi-fraksi beranggapan bahwa RUU itu diusulkan untuk merespons aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat.
Perlu ada ruang diskusi untuk menguji relevansi suatu RUU layak ditempatkan sebagai Prolegnas Prioritas 2017 tanpa menyampingkan urgensi (usulan) RUU lain. Untuk itu, Badan Keahlian DPR (BKD) menyelenggarakan workshop bertemakan “Penyusunan Prolegnas Prioritas Tahun 2017: antara Kebutuhan dan Target Legislasi”. Workshop itu dilaksanakan pada Selasa, 25 Oktober 2016 pukul 10.00 dan bertempat di ruang rapat Mahkamah Kehormatan DPR. Adapun, peserta workshop antara lain para tenaga perancang undang-undang, peneliti, tenaga ahli fraksi dan komisi serta masyarakat umum. Sebagai salah satu narasumber workshop—Ronald Rofiandri, peneliti PSHK—menyampaikan sejumlah temuan dan catatan rekomendasi untuk penyusunan Prolegnas Prioritas 2017.
Pada awal pemaparannya, Ronald menyajikan deretan cuplikan perjalanan Prolegnas selama ini. Seperti pada 2010, Pemerintah dan DPR menyepakati politik legislasi penataan sistem hukum dan sistem politik nasional, mengganti peraturan perundang-undangan warisan kolonial, serta mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan. Namun, capaian Prolegnas Prioritas 2010 justru tidak mencerminkan kehendak politik legislasi dimaksud. Dengan kata lain, Pemerintah dan DPR malah menyetujui RUU yang tidak sejalan dengan pilihan politik legislasi yang telah disepakati sebelumnya. Terbukti RUU yang disetujui menjadi UU adalah RUU Perubahan UU Grasi, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, RUU Keprotokoleran, RUU Cagar Budaya, RUU Gerakan Pramuka, RUU Hortikultura, RUU Perumahan dan Kawasan Pemukiman, dan RUU Perubahan UU Partai Politik.
Pada bagian selanjutnya, Ronald mengingatkan pula tentang arena legislasi yang tidak pernah steril dari tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu regulasi, birokrasi, dan kepentingan politik. Ketiganya harus diidentifikasi secermat mungkin agar tidak menghambat proses legislasi, bahkan turut berkontribusi menghadirkan materi mautan RUU yang bermasalah. Kekhawatiran ini bisa semakin besar manakala Pemerintah, DPR, dan DPD tidak mengantisipasi semakin rumitnya penentuan Prolegnas Prioritas 2017. Selain keterbatasan waktu, pemicunya lainnya adalah adanya kesulitan menerjemahkan “kebutuhan hukum masyarakat” sehingga setiap aspirasi dari masyarakat perlu direspons melalui usulan RUU guna memenuhi kebutuhan tersebut. Akibatnya, daftar RUU yang diusulkan semakin banyak.
Pada bagian akhir paparannya, Ronald menekankan tahapan monitoring dan evaluasi dalam siklus legislasi. Menurut Ronald, harus ada metode khusus untuk menilai apakah suatu UU berlaku efektif, merugikan kelompok tertentu, atau menimbulkan masalah baru. Untuk itu, optimalisasi peran (unit) Bagian Pemantauan Pelaksanaan (Panlak) UU di bawah Biro Hukum Sekretariat Jenderal DPRD turut menjadi agenda yang tidak kalah penting.
Penulis: RR
Editor: APH