Perjuangan penolakan Undang-Undang Ormas sudah sampai di hadapan Majelis Hakim Konstitusi. Seperti yang diketahui, PSHK menolak kehadiran UU Ormas ke dalam sistem legislasi Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Eryanto Nugroho, Direktur Eksekutif PSHK, sebagai ahli di depan Majelis Hakim Konstitusi dan pihak Pemerintah dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi perihal Pengujian UU Ormas. Selain Eryanto, di pihak Pemohon juga ada Dr. Aidul Fitri Ciada sebagai Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ketukan palu sebanyak tiga kali oleh Ketua Hakim MK Hamdan Zoelva membuka sidang pada pukul 11.22 pada Rabu, 20 November 2013. Setelah kedua ahli mengambil sumpah, Dr. Aidul Fitri Ciada mendapat giliran pertama menyampaikan keterangannya. Tiga poin yang disampaikan adalah penggunaan nomenklatur organisasi kemasyarakatan, filosofis kebebasan berserikat berdasarkan nilai-nilai HAM universal, dan adanya duplikasi dengan Undang-Undang tentang Yayasan dan Staatsblad tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum. Setelahnya, Eryanto menyampaikan keterangan yang fokus pada dua aspek, yaitu proses pembuatan UU Ormas dan substansi materinya.
Pembahasan RUU Ormas cukup panjang, bahkan mengalami penundaan pembahasan hingga tujuh kali masa sidang dan penundaan pengesahan sampai dua kali rapat paripurna. RUU Ormas juga tidak memenuhi dua asas pembentukan peraturan perundang-undangan: asas kehasilgunaan dan asas dapat dilaksanakan. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya penolakan dari para pemangku kepentingan utama dari RUU Ormas. Ditilik dari substansinya, UU Ormas mencantumkan pasal yang—dikutip dari kesaksian Eryanto—“mencampuradukkan pengertian Ormas yang dapat berbadan hukum atau tidak; seakan seluruh bentuk organisasi di bidang sosial itu sebutannya Ormas.”. Ditambah lagi, penentuan dan pengkategorisasian Ormas dilakukan sepihak oleh Pemerintah. Eryanto menambahkan, hal yang seharusnya dilakukan adalah “mengembalikan pengaturan kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum yayasan untuk organisasi sosial tanpa anggota, dan badan hukum perkumpulan untuk organisasi beranggota”. Adapun, terdapat pula beberapa masalah lain, seperti pendaftaran yang bukan dengan pendekatan hukum; struktur lingkup organisasi masyarakat sipil yang berpotensi rancu; dan sanksi administratif yang diberikan kepada pemerintah, bukan penegak hukum. (AW)