Universal Periodic Review (UPR) adalah mekanisme evaluasi terkait situasi hak asasi manusia di suatu negara oleh negara-negara lain. Forum ini dilakukan secara berkala dalam skema Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). UPR berdiri melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 60/251 pada 15 Maret 2006 yang memberikan mandat kepada Dewan Hak Asasi Manusia untuk menyelenggarakan evaluasi secara periodik dan berkala terkait situasi hak asasi manusia.
Setahun setelah resolusi itu dikeluarkan, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengeluarkan paket pembangunan institusi UPR melalui resolusi A/HRC/RES/5/1, 16/21, dan keputusan 17/119. UPR sendiri mulai pertama kali melaksanakan sesinya pada 2008. Forum UPR diikuti oleh seluruh negara anggota PBB dengan dua negara peninjau yaitu Palestina dan Tahta Suci Vatikan.
Inti dari forum UPR ini adalah masing-masing negara anggota PBB akan mengevaluasi negara lain dan secara mutual dievaluasi oleh negara lainnya. Selain itu, suatu negara juga akan memberikan rekomendasi sekaligus diberikan rekomendasi terkait dengan situasi hak asasi manusia di negara masing-masing. Setiap negara diberikan kebebasan untuk memilih sikap menerima (accepted) atau memberikan catatan (noted) terhadap rekomendasi yang diberikan oleh negara lain. Namun, setiap negara tidak boleh menolak rekomendasi dari negara lain. Meskipun tidak ada mekanisme sanksi bagi negara apabila negara tidak mengimplementasikan rekomendasi dari UPR ini.
Untuk mendukung pelaksanaan UPR, sebuah lembaga non-profit bernama UPR Info, menginisiasi sebuah forum yang dinamakan UPR Pre-session sejak 2011. Forum ini didirikan dengan tujuan utama sebagai jembatan antara aspirasi organisasi non-pemerintah dengan rekomendasi delegasi negara yang akan berpartisipasi dalam UPR. Meskipun suara organisasi non-pemerintah sebagai pemangku kepentingan sangat penting bahkan menjadi salah satu basis evaluasi dalam UPR, tetapi UPR sendiri adalah forum yang beranggotakan negara (member states forum).
Oleh karena itu, pre-sesi UPR ini adalah forum yang sangat strategis dan bermanfaat untuk menyampaikan suara alternatif dari organisasi non-pemerintah. Selain tentu saja beberapa forum lobi dan advokasi yang digagas oleh kelompok organisasi non-pemerintah kepada delegasi negara-negara. Baik yang dilakukan pada level nasional maupun internasional. Beberapa jalur lobi yang biasa dijalankan organisasi non-pemerintah adalah diplomat briefing, rapat dengan kedutaan besar, konferensi pers, dan jalur advokasi lainnya.
Format forum pre-sesi UPR didesain sangat mirip dengan forum UPR. Pada forum pre-sesi UPR, dari masing-masing negara akan dipilih 4 (empat) sampai 5 (lima) orang pembicara untuk menyampaikan situasi beberapa isu hak asasi manusia di level nasional. Masing-masing pembicara dipilih berdasarkan dokumen yang mereka kirimkan sebelumnya kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk dibahas dalam forum UPR. Pemilihan dilakukan dengan kriteria laporan yang telah didaftarkan, kesiapan dokumen, kedalaman materi, hingga urgensi terkait situasi hak asasi manusia di level nasional.
Setelah terpilih, para pembicara akan diundang ke Jenewa untuk berbicara langsung di hadapan para utusan negara peserta UPR (permanent missions). Setelah itu, para utusan negara dapat mengajukan pertanyaan untuk mendalami materi dari para pembicara. Beberapa pertanyaan yang ditanyakan berkisar antara implementasi dari rekomendasi yang telah diberikan sebelumnya, situasi terkini di level nasional, sampai dengan rekomendasi apa yang ingin didorong oleh negara-negara lain pada sesi UPR berikutnya.
Selain itu, pre-sesi UPR adalah forum lobi dan advokasi level internasional yang sangat strategis untuk dimanfaatkan dalam menyuarakan pemajuan hak asasi manusia di level nasional. Oleh karena itu, pre-sesi UPR juga diisi oleh rangkaian rapat, diskusi, penyebaran pernyataan dan rekomendasi, serta diseminasi materi lainnya, termasuk soal advokasi kebijakan dan perubahan hukum.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) melalui penelitinya Miko Ginting, terpilih menjadi pembicara mewakili Indonesia. Topik yang disampaikan PSHK kepada UPR Dewan Hak Asasi Manusia PBB adalah mengenai kebebasan pokok/fundamental (fundamental freedoms), yang terdiri dari 3 (tiga) bagian besar hak asasi manusia yaitu kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan berkumpul dan berorganisasi, serta kebebasan beragama dan berkeyakinan. Isu kebebasan fundamental ini adalah topik yang menjadi subjek kajian PSHK sehari-hari sebagai lembaga yang bergerak dalam reformasi hukum dan mendorong pembentukan hukum yang bertanggung jawab sosial.
Pada pre-sesi UPR, PSHK menyampaikan mengenai situasi dan kondisi kebebasan fundamental di Indonesia. Tahun ini adalah putaran ketiga bagi pelaksanaan UPR setelah putaran kedua yang berlangsung pada 2012. Indonesia sebagai negara anggota terakhir dievaluasi pada 2012 dan secara total mendapatkan 193 rekomendasi terkait situasi pemajuan hak asasi manusia. Dari rekomendasi yang diberikan, PSHK menilai belum ada kemajuan yang signifikan terkait situasi hak asasi manusia di Indonesia.
Di sisi lain, dalam beberapa isu, situasi pemajuan hak asasi manusia terutama dalam hal kebebasan fundamental justru sangat mundur. Misalnya, soal isu pembubaran diskusi, pelarangan hak berekspresi kelompok ekspresi seksual, pelarangan hak berorganisasi pemeluk kepercayaan, hingga potensi pemidanaan terhadap beberapa hak tertentu. Oleh karena itu, berdasarkan hasil riset PSHK dan lembaga-lembaga lain, pada forum pre-sesi UPR ini disampaikan mengenai situasi hak asasi manusia yang tidak membaik serta Pemerintah yang tidak menjalankan rekomendasi yang telah diberikan secara konsisten.
PSHK menggunakan parameter akuntabilitas negara sebagaimana yang dikembangkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB, yaitu kemampuan negara untuk bertanggung jawab (responsibility), kemampuan menjawab (answerability), dan kemampuan negara untuk menegakkan (enforceability). Parameter ini digunakan dalam rangka mendorong negara untuk lebih berkemampuan dalam memajukan hak asasi manusia (to upgrading capability of the state to promote human rights).
Kebebasan fundamental adalah isu hak asasi manusia yang saling berkaitan satu dengan yang lain (interlinked issues). Perenggutan terhadap satu hak berdampak pada pembatasan pada hak lain. Misalnya, pelarangan terhadap organisasi kepercayaan tertentu berdampak pada haknya untuk menjalankan ibadah atau menunjukkan ekspresinya. Hasil riset PSHK yang berkaitan dengan kebebasan berkumpul serta berorganisasi serta berpendapat dan berekspresi sangat mendukung materi yang ingin disampaikan. Forum UPR menjadi salah satu forum berlevel internasional yang digunakan untuk sebagai forum dalam menyampaikan pandangan PSHK berdasarkan hasil riset yang telah dikerjakan selama ini.