Kabar mengejutkan datang dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Partai tersebut saat ini tengah berjuang mengembalikan posisi Setya Novanto sebagai ketua DPR untuk menggantikan Ade Komaruddin. Sulit dicerna secara akal sehat, Setya Novanto yang mengundurkan diri, sesaat sebelum divonis Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), akan kembali menjadi Ketua DPR. Imbasnya tidak hanya kepada Golkar, namun juga DPR yang akan mengalami krisis moralitas dan kepercayaan publik. Oleh karenanya, Rabu, 23 November 2016 bertempat di Indonesia Corruption Watch (ICW), sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi yang terdiri dari ICW, Gerakan Anti Korupsi (GAK) Lintas Kampus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesian Parliamentary Center (IPC), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan PSHK melakukan Konferensi Pers Menolak Setya Novanto (kembali) Menjadi Ketua DPR.
Ronald Rofiandri mewakili PSHK, menyampaikan catatan kritis terkait pertimbangan Partai Golkar mengusulkan Setya Novanto sebagai Ketua DPR, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan persidangan etik oleh Mahkamah Konstitusi Dewan (MKD). Pertama, putusan MK atas uji materi Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ditujukan terhadap (keabsahan) barang bukti yang sah dalam konteks kerja penegak hukum (dalam hal ini penyelidikan), bukan dalam proses penegakan etik. Dengan demikian, putusan MK memang tidak ada kaitannya dengan apa yang saat itu sedang berjalan di MKD (persidangan etik Setya Novanto). Kedua, Sidang MKD pada 27 September 2016 yang memutuskan mengabulkan permohonan peninjauan kembali Setya Novanto sesungguhnya tidak dikenal. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Tata Beracara MKD) menyatakan bahwa kewajiban MKD untuk memberikan rehabilitasi berlaku atas putusan bahwa (dugaan) pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota DPR (sebagai teradu) tidak terbukti. Anomalinya adalah MKD tidak pernah memberikan putusan tersendiri terhadap dugaan pelanggaran kode etik oleh Setya Novanto.