Demokrasi dan hak asasi manusia masih menjadi polemik di beberapa negara, tak terkecuali dalam lingkup Asia. Bahkan, salah satu titik awal lahirnya Asian Human Rights Charter (AHCR) adalah beberapa pemimpin negara di Asia menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan sesuatu yang asing (alien). Dalam konteks penegakan dan pemajuan hak asasi manusia, situasi di sebagian besar negara Asia juga dapat dikatakan masih pada level mengkhawatirkan.
Untuk itu, Bersih 2.0 dan Suara Rakyat Malaysia (SUARAM) mengadakan regional workshop dengan tema “Shrinking Democratic Space in South East Asia: a Critical Analysis and Call for Solidarity”. Acara yang diselenggarakan pada 19—20 Oktober 2016 bertempat di Kuala Lumpur itu dihadiri oleh sekitar 55 orang peserta dan beberapa tokoh hak asasi manusia. Selain regional workshop, turut juga diberikan penghargaan Gwangju Prize oleh May 18th Foundation kepada Bersih 2.0.
Miko Ginting, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, menjadi narasumber untuk salah satu tema, yaitu Right to Dissent and Institutional Reform. Bersama dengan Jose Luis Gascon (Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Filipina) dan Maria Chin (Chairman of Bersih), Miko membahas situasi terkini di Indonesia dan analisis terhadap tantangan hak asasi manusia ke depan. “Karakteristik dan tantangan hak untuk berbeda serta reformasi kelembagaan pada beberapa negara Asia dapat dikatakan sama. Perbedaannya hanya pada level dan skalanya. Untuk itu, acara ini harapannya menjadi momen untuk merajut solidaritas bersama dalam mendorong situasi dan kondisi pemajuan hak asasi manusia yang lebih baik”, ujar Miko.
Penulis: MSG
Editor: APH