Keterbukaan adalah nilai yang sangat penting untuk diperhatikan pemerintah. Semakin terbukanya pemerintahan kepada warga negaranya, tingkat kepercayaan terhadapnya akan semakin meningkat. Hal itu bahkan sudah diakui di tingkat internasional dengan didirikannya Open Government Partnership, disingkat OGP, sejak 2011. OGP adalah wadah tingkat internasional bagi aktor-aktor pejuang reformasi yang berkomitmen mengubah pemerintahannya menjadi lebih terbuka, akuntabel, dan responsif terhadap warganya.
Ronald Rofiandri selaku Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK diundang secara resmi untuk ikut dalam rangkaian acara yang diadakan oleh OGP di London, Inggris. Kegiatan itu dibagi menjadi dua sesi: CSO Day dan Annual Summit. Ronald mewakili kelompok masyarakat sipil Indonesia dalam Legislative Openness Working Group (LOWG). Indonesia adalah satu-satunya negara kawasan Asia Tenggara yang menempatkan perwakilannya dalam LOWG. Saat CSO Day pada 30 Oktober di University of London Union, diadakan serangkaian diskusi tematik secara paralel. Hal yang sama juga terjadi pada 31 Oktober hingga 1 November 2013 saat Annual Summit di Queen Elizabeth II Conference Centre.
Saat mendiskusikan subtopik “Development of Common Standards of Model Provisions on Legislative Openness”, Ronald sebagai wakil CSO Indonesia berhasil menjadikan usulan-usulannya sebagai Minimum Common Standard. Ketiga usulan itu adalah keterbukaan pada setiap pilihan mekanisme pengambilan keputusan, identifikasi stakeholders proses legislasi, dan feedback terhadap aspirasi warga. Paparan perwakilan parlemen Indonesia juga berhasil mengkonfirmasikan adanya proses institusionalisasi yang sejalan dengan pembentukan LOWG. Paparan itu berisi tentang pengalaman mendorong keterbukaan parlemen dalam proses legislasi, khususnya mengenai RUU Desa. Diharapkan dengan keikutsertaannya dalam LOWG, parlemen Indonesia akan berkomitmen untuk menyiapkan agenda keterbukaan DPR. Hal itu dapat dilakukan melalui implementasi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta Tata Tertib DPR.
Kelemahan parlemen Indonesia ada pada ketidakhadirannya dalam arena komunikasi publik yang semakin dinamis dan canggih. Ronald berkata bahwa, “Keikutsertaan wakil dari Indonesia dalam rangkaian acara ini menjadi kesempatan untuk menjajaki berbagai model pengelolaan parlemen yang bisa dipraktikkan. Ada dua hal yang harus dikelola secara lebih profesional dan modern: pengaturan arus informasi dari internal hingga dipublikasikan untuk umum dan bagaimana menangkap gagasan publik untuk dijadikan raw material dalam pembentukan legislasi.” (AW)