TEMPO.CO, Jakarta – Penolakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi makin meluas. Peneliti hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, memaparkan tiga alasan bahwa UU KPK tak perlu diubah. “Tidak ada politik legislasi yang jelas dalam revisi Undang-Undang KPK,” ujar Bivitri ketika ditemui di PSHK, Kamis, 11 Januari 2016.
Pertama, Bivitri menjelaskan bahwa tidak ada masalah konstitusi dengan desain KPK. PSHK menilai hal ini dapat dilihat dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi soal permohonan pengujian UU KPK sejak 2003 hingga sekarang. “Sampai 2016 setidaknya ada 18 permohonan yang sudah dan sedang diuji di MK, dan sejauh ini MK justru menguatkan KPK,” katanya.
Kedua, PSHK menganggap sampai saat ini KPK efektif melakukan tugas-tugasnya. Berdasarkan data, KPK merupakan lembaga hukum yang menangani kasus korupsi dengan potensi kerugian negara tertinggi dibanding dengan dua lembaga penegak hukum lainnya, Polri dan Kejaksaan Agung. “Sepanjang 2014, KPK tangani kasus yang nilainya Rp 3 triliun, kepolisian hanya Rp 132 miliar, dan Kejaksaan Rp 1,7 triliun. Padahal kantor KPK hanya di Jakarta dengan 70 penyidik.”
Ketiga, Bivitri menilai revisi UU KPK kental diwarnai ketidaksukaan politikus. Hal ini, kata Bivitri, dapat dilihat dari mendadaknya RUU KPK masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas). “Tidak ada tanda-tanda jelas, tahu-tahu muncul,” ucapnya.
Bivitri berpendapat, bila UU KPK memang ingin diperiksa kembali, harusnya dilakukan setelah pembahasan UU KUHP, UU KUHAP, serta undang-undang lainnya yang terkait dengan sistem penegakan hukum, yakni UU Mahkamah Agung, UU Kehakiman, UU Kejaksaan, dan UU Kepolisian. “Kalau tidak ada pemetaan yang jelas, penegakan hukum akan jadi kacau dan tidak efektif,” tuturnya.
Mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat menggebu-gebu mengubah UU KPK. Meski mereka beralasan ingin menguatkan KPK, nyatanya sejumlah pasal yang diusulkan direvisi berpotensi membuat lembaga antikorupsi itu tak bertaji. Saat ini, proses revisi sudah sampai di Badan Legislasi DPR.
============================================================================
Sumber : www.nasional.tempo.co
Terbit pada : Kamis, 11 Februari 2016
Tautan online: https://nasional.tempo.co/