TEMPO.CO, Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyarankan Mahkamah Konstitusi (MK) memperketat aturan etik dan sistem seleksi calon hakimnya. Hal itu untuk mengembalikan kepercayaan publik pada MK, yang dinilai kerap tersandung isu negatif.
Meski sudah ada dua hakim konstitusi yang terjerat kasus suap, MK dinilai hanya bisa memperkuat institusi secara internal. Pengawasan eksternal, dalam hal ini terhambat oleh Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006.
“Ide pengawasan eksternal kita setuju, namun ada putusan (MK) dan mengikat. Hal itu bisa disiasati dengan penguatan komite (dewan) etiknya,” kata Bivitri usai diskusi publik yang digelar di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Ahad kemarin, 2 April 2017.
Dia mengatakan Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 menghalangi institusi lain, seperti Komisi Yudisial (KY), untuk mengawasi MK. “Tapi kalaupun KY tak bisa masuk secara kelembagaan, unsur-unsurnya kan bisa masuk ke Dewan Etik (MK),” katanya.
MK, kata Bivitri, juga bisa memperketat kode etik setiap hakimnya. “Standar kode etik harus tinggi. Hakim MK harus asosial, tak bisa nongkrong, ditraktir, atau tak boleh terlalu sering ketemu orang apalagi pihak yang berperkara,” ujarnya.
Bivitri pun menyorot proses seleksi hakim konstitusi sebagai salah satu cara memperkuat MK. Proses itu sempat berlangsung pada 27 dan 29 Maret lalu.
Tujuh orang yang tergabung dalam panitia seleksi (pansel) hakim MK melakukan wawancara terhadap 11 calon. Hasilnya, ada tiga nama yang kini disodorkan pada Presiden Joko Widodo untuk kemudian dipilih. Nama-nama tersebut belum dipublikasi.
“Wawancara sebenarnya bukan satu-satunya cara, kan bisa juga melihat rekam jejak (setiap calon),” kata Bivitri.
=============================================================
Sumber : https://nasional.tempo.co
Terbit pada : Senin, 03 April 2017
Tautan online: https://nasional.tempo.co/read/news/2017/04/03/078862054/ahli-hukum-