Akreditasi Penjaminan Mutu merupakan salah satu program unggulan dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum). Tim akreditasi internal ini dibentuk untuk melakukan penilaian dan penjaminan mutu pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di seluruh Indoensia sesuai standar sertifikasi ISO:2015. Selain itu, ikut dikuatkan dengan penerapan International Framework for Court Excellent (IFCE), Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, standar pengawasan dari Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Pembangunan Zona Integritas.
“Akreditasi ini kan program unggulan dari Dirjen Badilum untuk mempercepat terwujudnya visi Mahakamah Agung, yaitu terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung,” ujar Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana, Ditjen Badilum Mahkamah Agung, Wahyudin, kepada hukumonline, Kamis (24/8), di Jakarta.
Menurut Wahyudin, program akreditasi penjaminan mutu tersebut merupakan cara untuk mengakselerasi terwujudnya visi mahkamah agung. Oleh karena itu, pihaknya telah bergerak dari bawah. Proses pembinaan terhadap Pengadilan Negeri (PN) serta Pengadilan Tinggi (PT) dilakukan secara masif guna mendukung percepatan terwujudnya visi Mahkamah Agung.
“Bagaimana PN kita bina supaya bisa mewujudkan percepatan visi itu. Bagaimana PT juga bisa kita kondisikan untuk mendukung proses percepatan itu, sehingga akhirnya nanti proses perwujudan visi Mahkamah Agung akhirnya bisa dicapai sebelum waktu yang telah ditetapkan,” terangnya.
Namun untuk mewujudkan semua itu, Wahyudin mengisyaratkan adanya sinergitas antara Direktorat Jenderal lainnya yang ada di dalam lingkungan Mahkamah Agung.
Ia menilai, Pimpinan Mahkamah Agung mampu menangkap kebutuhan akan sinergitas tersebut sehingga mengeluarkan kebijakan untuk menerapkan program akreditasi penjaminan mutu di seluruh badan peradilan. Ia berharap, ke depan seluruh badan peradilan bisa menerapkan program tersebut.
“Tidak bisa berhasil kalau tidak diikuti oleh direktorat jenderal yang lain, makanya dengan embrio ini kemudian ditangkap oleh pipinan MA untuk diterapkan diseluruh badan peradilan,” ujarnya.
Selanjutnya, Wahyudin mengatakan bahwa dalam pelaksanaan program tersebut, terdapat beberapa kendala di dalamnya. Hal ini dikarenakan oleh keberadaan program akreditasi yang masih terbilang baru sehingga terdapat resistensi dari kalangan tertentu. “Dari pihak kita sendiri ada resistensi,” ujarnya.
Meski demikian, Wahyudin menilai bahwa program ini harus tetap disosialisasikan secara gencar. Menurutnya, ada anggapan bahwa dengan adanya akreditasi terhadap badan peradilan, ada sejumlah biaya dengan nominal yang besar yang harus dikeluarkan oleh badan peradilan. Selain itu, ada anggapan yang mengira akreditasi nantinya akan menggunakan sistem penilaian berdasarkan kondisi bangunan pengadilan.
“Ada anggapan bahwa proses akreditasi ini berbiaya mahal. Tadi juga berkembang bahwa jangan disamakan sistem penilaian di PN Jakpus dengan PN di daerah yang gedungnya tidak semewah Jakarta,” ujar Wahyudin.
Untuk itu ia menjelaskan sistem penilaian dalam akreditasi tersebut. Untuk aspek infrastruktur, indikator yang akan digunakan untuk menilai adalah 5 R, yakni, ringkas, rapi, bersih, rawat dan rajin. Bukan pada kemewahan bangunan pengadilan.
Dia mencontohkan kondisi bangunan Pengadilan Negeri Sengeti yang merupakan gedung tua. Namun karena rapi, maka memberikan kenyamanan dalam bekerja. “Nyaman untuk memberikan pelayanan dan masyarakat juga merasa nyaman dilayani di tempat yang rapi seperti itu. Itu penilaian excellent buat kita,” terangnya.
Ke depan, Wahyudin menegaskan agar semua stakeholder internal Mahkamah Agung berkolaborasi untuk menciptakan iklim sinergitas antar pihak. “Mahkamah Agung secara internal harus berkolaborasi, harus bersinergi antara masing-masing dirjen, antara dirjen dengan badan pengawasan. Karena ke depan kita tidak mungkin lagi untuk melakukan pembinaan sekaligus pengawasan. Kita akan kosentrasi kepada sisi pembinaannya. Pengawasan nanti kita percayakan kepada badan pengawas, itu lebih fair,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas, Prahesti Pandanwangi, mengapresiasi program Badilum tersebut. Menerutnya, program ini menunjukkan upaya serius pengadilan untuk melakukan pembenahan ke dalam.
“Kita senang ada model akreditasi yang dilakukan oleh pengadilan bahwa ini adalah bagaimana caranya agar pengadilan itu berbenah, jangan sampai persepsinya jelek terus,” katanya.
Prahesti juga mengisyaratkan tentang pentingnya sinkronisasi internal Mahkamah Agung dalam merespons program Akreditasi ini. Jangan sampai berjalan sendiri-sendiri. Ia berharap akreditasi tersebut bisa menjadi kekuatan bagi Badan Pengawas untuk melakukan pengawasan. Selain itu, menjadi acuan bagi pencapaian reformasi birokrasi di Mahkamah Agung.
Dengan demikian, pada tahap perencanaan pengaanggaran untuk Mahkamah Agung, Bappenas dapat berkoordinasi dengan Mahkamah Agung untuk mendorong reformasi birokrasi Mahkamah Agung melalui dukungan anggaran. Agar itu semua bisa terwujud, Bappenas menekankan perlunya sinkronisasi internal Mahkmah Agung terkait akreditasi penjaminan mutu tersebut.
“Nah ini semua nanti berangkat untuk diajukan ke dalam proses perencanaan pengaggaran. Harus ada konsolidasi ke sana supaya nanti clear. Supaya kita di Bapennas bisa melihat bisa mendukung, oh ini arah pergerakannya lembaga MA seperti ini. Nah kita mendukungnya seperti apa. Kami di Bappenas supaya anggaran itu dipergunakan secara efektif dan efisien, sinergi dong di dalam supaya kongkrit.” tegas Prahesti.
International Framework for Court Excellent (IFCE)
Penilaian terhadap kinerja pengadilan merupakan hal penting untuk melihat capaian lembaga pengadilan. Dalam konteks Indoensia, penilaian kinerja pengadilan dilakukan dengan beberapa cara seperti melihat capaian reformasi birokrasi, penilaian akreditasi, maupun audit. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum & Peradilan Mahkamah Agung, menyampaikan Perihal terkait IFCE.
Peneliti PSHK, Estu Dyah Arifianti mengatakan dalam konteks global, international Framework for Court Excellent (IFCE) merupakan salah satu system penilaian yang digunakan untuk menilai kinerja pengadilan.
Pendekatan yang digunakan oleh IFCE mencakup berbagai aspek, termasuk tata kelola, manajemen, dan operasional pengadilan. IFCE sendiri menyediakan metodologi untuk membangun kinerja pengadilan berdasarkan nilai yang diterima secara internasional dan penerapannya pada setiap area kegiatan pengadilan. Kerangka ini memberikan metode bagi pengadilan untuk menilai apakah nilai-nilai yang telah diidentifikasi penting tersebut benar-benar mengarahkan peran dan fungsi pengadilan.
Temuan IFCE mengenai 7 fokus area pengadilan yang unggul terdiri dari, Kepemimpinan dan Manajemen; Perencanaan dan Kebijakan; Sumber Daya Pengadila; Proses Pemerikasaan Sidang dan Putusan; Kepuasan Penggunaan Layanan; Keterjangkauan dan Aksesibilitas; dan Kepercayaan Publik.
Estu mengatakan bahwa IFCE selama ini telah diterapkan dalam akreditasi dan penjaminan mutu pengadilan oleh Ditjen Badilum. Akreditasi yang mengadopsi IFCE dilaksanakan tidak melalui pembahasan perwakilan pengadilan, melainkan melalui sosialisasi.
Rekomendasi IFCE sendiri antara lain, perlu adanya integrasi dan pembahasan bersama antara Ditjen Badilum, Bawas, Kemenpan-RB dan Kementerian PPN dalam penilaian kinerja pengadilan untuk memudahkan pengecekan kinerja pengadilan; perlu ada laporan evaluasi pelaksanan akreditasi yang enjelaskan kemampuan akreditasi pada perbaikan kinerja pengadilan.
Rekomendasi lainnya, perlu penyebarluasan pelaksanaan dan hasil akreditasi kepada masyarakat; inisiatif baik Ditjen Badilum dalam pelaksanaan akreditasi seharusnya bisa diterapkan di Ditjen Badil Agama, Militer, dan TUN.
============================================================================
Sumber : www.hukumonline.com
Diakses pada : Kamis, 24 Agustus 2017
Tautan online: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt599ee5