JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan terhadap panitera oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap perkara di pengadilan yang terus berulang menunjukkan adanya kelemahan sistem manajemen perkara di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Terjadinya suap perkara yang melibatkan panitera tidak bisa dibebankan sebagai kesalahan perseorangan semata, sebab hal itu terjadi karena sistem yang ada tidak cukup efektif mencegah dan menutup celah korupsi. Juru bicara MA Suhadi menuturkan, MA sebenarnya telah berupaya optimal mengawasi setiap pegawainya, baik dari jajaran hakim maupun panitera. ”Kalau masih saja ada oknum yang berbuat semacam itu, risikonya harus mereka tanggung sendiri, karena ini adalah perbuatan perseorangan,” kata Suhadi di Jakarta, Selasa (22/8). Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Liza Farihah, mengatakan, MA tidak cukup menyelesaikan masalah dengan menuding individu atau oknum sebagai pihak yang bersalah atas terjadinya penangkapan panitera oleh KPK. Pembenahan sistem diperlukan untuk mencegah hal itu kembali terulang. KPK menangkap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi, Senin. Ia diduga menerima suap Rp 400 juta dari Akhmadi Zaini, pengacara PT Aquamarine Divindo Inspection (ADI). Penangkapan ini berawal dari perkara perdata gugatan wanprestasi antara PT ADI dan Eastern Jason Fabrication Services, Pte Ltd (EJFS) pada Oktober 2016. PT ADI dianggap melanggar kontrak yang mengakibatkan kerugian materiil 3,2 juta dollar Amerika Serikat dan 131.000 dollar Singapura. Dalam gugatannya, EJFS meminta PT ADI membayar ganti rugi sebesar 7,6 juta dollar AS dan 131.000 dollar Singapura. Zaini diduga menyuap Tarmizi untuk memengaruhi putusan hakim agar kliennya tidak perlu membayar ganti rugi. Uang suap diserahkan secara bertahap melalui transfer bank. Pemberian pertama dilakukan
Rp 25 juta sebagai biaya operasional, kemudian dilanjutkan melunasi komitmen sebesar Rp 100 juta pada 22 Juli dan Rp 300 juta pada saat operasi tangkap tangan terjadi. Transfer pun dilakukan tidak langsung ke rekening Tarmizi, tetapi ke rekening seorang petugas kebersihan, Teddy Junaedi. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, KPK belum menemukan hubungan antara Tarmizi dan hakim yang menangani perkara terkait. ”Sampai hari ini belum cukup dikembangkan ke pihak lain, tapi kami akan mengikuti,” ujar Agus.
Modus
Liza mengatakan, penangkapan kembali panitera pengadilan dalam kasus suap bukan semata-mata karena soal moral oknum bersangkutan, melainkan karena banyak celah di dalam sistem pengadilan yang bisa dimanfaatkan. Aparat pengadilan, termasuk panitera, bisa menggunakan berbagai modus untuk mengambil untung dari celah tersebut. Bahkan, menurut Liza, tukang antar berkas, atau siapa saja yang bekerja di lingkungan pengadilan, asalkan dia memahami business process di pengadilan, bisa memanfaatkan celah tersebut. MA tak punya sumber daya memadai untuk memantau semua satuan kerjanya yang berjumlah lebih dari 830 unit. ”Oleh karena itu, yang harus dilakukan ialah perbaikan sistem manajemen perkara, dengan mengubah dari sistem yang rumit menjadi lebih sederhana dan transparan,” ujarnya. Sebagai contoh, seorang panitera atau petugas pengadilan bisa memainkan berkas putusan, misalnya dengan menunda pengiriman salinan putusan untuk memperoleh uang dari pihak yang berperkara. Berkas itu akan dikirim cepat dengan syarat jumlah uang tertentu. Modus seperti ini pernah dilakukan mantan Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna yang menerima uang lebih dari Rp 500 juta dari berbagai kasus yang ditanganinya. Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan, panitera sebagai aparat pengadilan yang paling awal mengetahui putusan hakim amat mudah menyalahgunakan posisinya. Salah satu modus kejahatan yang kerap dilakukan panitera ialah dengan ”menjual informasi” mengenai putusan hakim. ”Dia (panitera) telah mengetahui bahwa si A atau pihak yang berperkara dimenangkan dalam suatu perkara, misalnya. Namun, panitera memanfaatkan hal itu dengan menghubungi si A atau pengacaranya dan meminta sejumlah uang guna memastikan pihaknya memenangi perkara itu. Padahal, panitera itu memang sudah tahu sedari awal bahwa putusan hakim memenangkan si A,” kata Fajri. Modus kedua, hakim memanfaatkan panitera untuk meminta sejumlah uang kepada pihak-pihak yang berperkara. Dalam hal ini, menurut Fajri, panitera menjadi kepanjangan tangan dari hakim untuk mendapatkan uang. Itu karena panitera lebih mudah untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang berperkara. Menurut Fajri, lingkaran kerusakan di dalam sistem pengadilan itu sulit diputus dan kemungkinan akan ada lebih banyak panitera lagi yang ditangkap KPK sepanjang MA tidak melakukan pembenahan sistem secara besar-besaran. Salah satu cara mengontrol perilaku panitera adalah mekanisme laporan hasil kekayaan aparatur sipil negara (LHKASN). Selama ini, kepatuhan pelaporan LHKASN yang dikelola Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini sulit diketahui. Berbeda dengan laporan hasil kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dapat dilihat tingkat kepatuhannya di KPK. ”Kami akui mengalami kendala untuk menganalisis LHKASN. Berbeda dengan LHKPN, kami selalu berkoordinasi dengan KPK, terutama jika ada perkara tertentu,” ujar Ketua Muda Bidang Pengawasan MA Sunarto.
============================================================================
Sumber : http://kompas.id / versi koran cetak 23 Agustus 2017 hal.1
Terbit pada : Rabu, 23 Agustus 2017
Tautan online: https://kompas.id/baca/utama/2017/08/23/benahi-sistem-manajemen-perkara/
============================================================================