JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri, menilai DPR masih gagap dalam mengatur materi mana yang seharusnya diatur dalam undang-undang.
Menurut Ronald, dalam daftar prioritas program legislasi nasional 2015-2019 terdapat beberapa materi yang diusulkan oleh DPR yang sebenarnya tidak perlu diatur dalam level UU.
“DPR terlalu memaksakan suatu materi yang sebenarnya tidak perlu diatur dalam level UU,” ujar Ronald saat dihubungi Rabu (30/3/2016) malam.
Lebih lanjut ia menjelaskan, tidak semua hal harus diatur melalui regulasi. Materi RUU seperti tentang kebidanan, arsitek, dan kebudayaan misalnya.
Menurut Ronald, materi itu tidak terlalu mendesak untuk diatur dalam UU.
Ia mencontohkan, bila DPR ingin memajukan bidang kebudayaan, tentu lebih efektif dan efisien apabila dilakukan dengan cara menyempurnakan program yang telah dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Contoh lain misalnya saat DPR mengusulkan pembuatan RUU yang mengatur soal LGBT. Meski isu tersebut sempat ramai di masyarakat, namun menurut Ronald isu LGBT tidak signifikan jika diatur dalam UU.
“Hal seperti itu kan tidak harus diatur melalui regulasi. Hanya akan menambah beban kerja anggota DPR,” ucapnya.
Ia pun mengusulkan, agar tercipta regulasi yang efektif dari sisi kualitas, baik pemerintah, DPR dan DPD harus mendesain ulang program legislasi nasional agar terlihat arah perbaikan sektor yang diinginkan.
Menurut Ronald, harus dibuat kesepakatan antara ketiga lembaga tersebut mengenai target prioritas program legislasi nasional tahunan.
Misalnya sektor hukum yang ingin dibenahi maka fokus pemerintah, DPR dan DPD diarahkan pada rancangan regulasi terkait, seperti prioritas untuk menyelesaikan RUU KUHP.
Hal tersebut juga berguna untuk menghindari terjadinya duplikasi dan tumpang tindih antara satu UU dengan UU lainnya.
“Ketiga lembaga tersebut harus mengatur materi apa saja yang layak diatur dalam UU,” kata Ronald.
Presiden RI Joko Widodo sebelumnya meminta DPR RI tidak memproduksi terlalu banyak undang-undang.
“Setahun, tiga saja cukup. Lima ya cukup,” ujar Jokowi pada acara dialog publik di Balai Kartini, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (30/3/2016).
Bagi Jokowi, yang paling penting bukanlah kuantitas undang-undang, melainkan kualitas undang-undang tersebut.
“Jumlah 40, 50, untuk apa?” ujarnya. (Baca: Jokowi Sindir DPR soal “Hobi” Bikin Undang-undang)
Jokowi lalu mengungkapkan bahwa dirinya mengetahui alasan para wakil rakyat senang sekali memproduksi banyak UU.
“Tetapi, enggak usah saya sebutkan di sini kenapa DPR seneng banyak (bikin UU). Saya kira yang hadir di sini juga tahu,” ujar dia.
Pernyataan Jokowi itu menuai tawa dari para peserta dialog. Acara dialog tersebut digagas Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. Peserta dialog yakni para akademisi, pengusaha, pelaku perbankan, dan lain-lain.
===========================================================================
Sumber : http://nasional.kompas.com
Terbit pada :Kamis, 31 Maret 2016
Tautan online: http://nasional.kompas.com/read/2016/03/31/07220081/DPR.Dinilai.