Rabu, 25 November 2015 | www.hukumonline.com
Permasalahan penanganan dan pengelolaan tilang dinilai masih ‘berantakan’. Padahal, berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) Tahun 2014, perkara terbesar di pengadilan tingkat pertama justru berasal dari perkara pidana cepat, dalam hal ini pelanggaran lalu lintas sebanyak 3.226.102 perkara (95,42%) dari total keseluruhan perkara pidana 3.334.226 perkara.
Sayangnya, hingga saat ini masih belum ada satu solusi yang jitu dalam menyelesaikan permasalahan dalam penanganan dan pengelolaan tilang, khususnya di pengadilan negeri (PN). Hal itu diamini oleh mantan Ketua MA, Harifin A Tumpa. Hingga saat ini, belum ditemukan solusi terbaik dari permasalahan penanganan dan pengelolaan tilang.
“Ini sangat disayangkan karena nggak bisa cari solusinya,” kata Harifin dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (25/11).
Menurutnya, salah satu masalah dari persoalan ini karena selama ini PN belum mempersiapkan diri secara baik dalam mengelola perkara tilang. Sebagai contoh, perkara tilang di PN selama ini hanya dilakukan oleh satu orang hakim. Padahal jika dilihat dari jumlah perkara tilang yang diterima PN, kondisi seperti itu sangat tidak proporsional.
Akibatnya, seringkali mengalami hambatan-hambatan selama proses persidangan tilang di PN. Bahkan, kondisi itu, lanjut Harifin, juga memicu banyaknya praktik-praktik percaloan dalam perkara tilang di PN. Menurutnya, PN wajib melakukan terobosan dalam mengelola perkara tilang. “Selama ini PN melakukan sidang tilang secara konvensional,” keluhnya.
Sebagai solusi, dia mengusulkan, pelaksanaan sidang tilang ditambah waktunya, seperti sidang tilang pada malam hari. Untuk solusi ini, ia sadar bisa memunculkan kendala baru. Misalnya pelaksanaan sidang tilang malam hari, paling tidak akan terkendala terkait honor hakim untuk jam kerja lembur.
Solusi lain yang ditawarkan Harifin adalah pelaksanaan sidang tilang dilakukan di luar hari kerja pada umumnya, misalnya pada hari Sabtu dan Minggu. Selain itu, bisa dilakukan pengelolaan sistem tilang online. Namun, untuk menggunakan solusi ini mesti dilakukan pembahasan antara penegak hukum.
Dikatakan Harifin, paling tidak dasar hukum yang mesti dipikirkan untuk menerapkan sistem tilang online ini melalui Surat Ketetapan Bersama (SKB). Sebagai contoh, dulu pernah ada SKB Ketua MA, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu tertanggal 19 Juni 1993. Sehingga perlu koordinasi dengan institusi terkait untuk membicarakan mengenai perubahan sistem dan tata cara pengelolaan tilang.
Kondisi pengelolaan tilang yang ‘berantakan’ ini juga mendorong Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA (Puslitbang MA) untuk melakukan penelitian. Direktur Eksekutif PSHK M Nur Sholikin mengatakan, penelitian yang dilakukan sejak Oktober 2013 lalu itu dilakukan di 13 PN di sejumlah daerah di Indonesia.
Hasilnya, didapatkan temuan-temuan yang bisa menjadi solusi bagi perbaikan penanganan hal ini. Paling tidak, dari hasil penelitian ini solusi yang bisa diberikan antara lain solusi jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Untuk solusi jangka panjang, Sholikin menyarankan agar perkara tilang ini dikeluarkan dari domain PN.
Sehingga, pelanggaran tilang ini tidak perlu lagi bersidang di pengadilan. Namun, tidak semua jenis tilang ini dikeluarkan dari domain PN. Melainkan, hanya perkara tilang uncontested (slip biru). “Keluar dari domain PN khusus perkara uncontested jadi ngga perlu ikut sidang,” usul Sholikin.
Sementara, untuk solusi jangka menengah, Sholikin menyebutkan ada sejumlah solusi yang bisa ditempuh. Antara lain, dengan melakukan revisi Surat Ketetapan Bersama (SKB) MA, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Tertentu tertanggal 19 Juni 1993. Selain itu, perlu dikaji ulang pengaturan tilang dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sedangkan solusi jangka pendek, Sholikin menyarankan agar MA mulai melakukan identifikasi praktik-praktik baik yang telah dilakukan di sejumlah PN untuk dijadikan model sebagai standar nasional. Sebab, dari 13 PN yang diteliti, terdapat inovasi-inovasi yang baik yang telah dilakukan oleh masing-masing PN.
Sayangnya inovasi tersebut masih dilakukan secara parsial. Karenanya, ia mendorong MA agar melalukan replikasi terhadap inovasi-inovasi yang telah dilakukan di PN. “MA bisa lakukan perbaikan dengan ikuti inovasi yang dilakukan PN. Inovasi itu tidak perlu dana besar, hanya perlu optimalkan SDM yang telah ada,” pungkasnya.
============================================================================
Sumber : www.hukumonline.com
Dirilis pada : Rabu, 25 November 2015