Kemudahan berinvestasi di Indonesia masih jauh dari negera tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Penyebabnya adalah kurangnya kepastian hukum akibat tumpang tindih regulasi.
Guna menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia, peningkatan investasi merupakan salah satu jalan yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Namun sayangnya, persoalan investasi di Indonesia masih terbilang cukup pelik. Jika merujuk kepada Ease of Doing Business (EoDB), ranking kemudahan berinvestasi di Indonesia masih jauh dari negera tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Penyebabnya adalah kurangnya kepastian hukum akibat tumpang tindih regulasi.
Atas persoalan tersebut, Presiden Joko Widodo meminta seluruh jajarannya untuk melakukan simplifikasi regulasi sebanyak 50 persen dari total regulasi yang ada yakni 42.000 guna mempermudah investasi masuk ke Indonesia.
Pada tahun 2016 lalu, pemerintah sudah mulai melakukan simplifikasi regulasi. Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bidang Hubungan Kelembagaan, Diani Sadiawati, mengatakan bahwa simplifikasi regulasi di bidang perizinan dan investasi dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan 20 kementerian/lembaga. Pemilihan 20 K/L ini didasarkan pada Instruksi Presiden (Inpres) No.4 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Untuk tahun 2016, 324 regulasi telah dicabut dan sebanyak 75 regulasi direvisi.
“Reformasi regulasi penting dilakukan, karena banyaknya regulasi bikin bingung, semua punya otoritas untuk bikin regulasi. Seolah-olah UU itu milik Kementerian,” kata Diani dalam Diskusi Terbatas dengan tajuk “Pelaksanaan Pemangkasan Regulasi Penghambat Investasi 2016-2017” di Kantor Hukumonline, Senin (17/4). (Baca Juga: Progress Simplifikasi Regulasi Bidang Perizinan dan Investasi)
Lantas, apa saja regulasi yang sudah disimplifikasi oleh pemerintah? Diani memaparkan bahwa Bappenas selaku koordinator pelaksanaan simplifikasi regulasi merinci regulasi-regulasi yang telah dicabut. Misalnya, 61 Perka BKPM. Perka-Perka ini, lanjut Diani, dipastikan sudah tidak digunakan kembali. Selain 61 Perka BPOM yang sudah dicabut, dan 4 Perka BPOM direvisi untuk menyederhanakan prosedur dan registrasi.
Selanjutnya, revisi 5 Perka BSN untuk menyempurnakan cara penyampaian pengaduan masyarakat serta pengaturan pengembangan SNI, mencabut 22 Permen ATR dan merevisi 3 Permen ATR. “Simplifikasi ini (ATR), bertujuan untuk menjamin hak masyarakat hukum adat, menangani permasalahan pertanahan, dan mempercepat proses pendaftaran tanah lengkap,” jelas Diani.
Sebanyak 5 Permen, 1 Kepmen, 1 Perdirjen Kelautan dan Perikanan dicabut, dan melakukan revisi terhadap 3 Permen Kelautan dan Perikanan untuk mempermudah perizinan dan investasi serta menjamin keberlanjutan usaha nelayan.
Selain itu, sebanyak 1 Permen Kesehatan dicabut dengan tujuan untuk memperbaiki layanan dan 12 Permen Ketenagakerjaan juga dicabut guna meningkatkan pelayanan dan mengakomodasi penepatan tenaga kerja sesuai kebutuhan di lapangan. (Baca Juga: BKPM: Minimnya Koordinasi Pusat-Daerah Jadi Penghambat Investasi)
Regulasi di bidang keuangan juga tak luput dari simplifikasi regulasi. Sebanyak 43 Permen dan Kepmen Keuangan dicabut, serta melakukan revisi terhadap 1 Permen Keuangan. Hal ini dilakukan guna memberikan kepastian hukum dan kemudahan prosedur dalam penetapan tariff dan nilai pabean.
Untuk Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 4 Permen sudah dicabut. Tujuannya lebih ditekankan untuk perbaikan dan kemudahan pelayanan serta melindungi kepentingan publik dan atau pengguna. Bidang Lingkungan Hidup, sebanyak 10 Permen LHK sudah dicabut dan merevisi 3 Permen LHK dengan tujuan mempermudah perizinan pemanfaatan hutan.
Sebanyak 17 Permen di bidang Pariwisata juga sudah dinyatakan tidak berlaku, dan pencabutan bertujuan untuk menyederhanakan prosedur pengaturan pendaftaran usaha agar proses lebih cepat dan lokasi pelayanan lebih mudah dijangkau. Selanjutnya sebanyak 8 Permen PUPR dicabut dan 3 Permen PUPR direvisi dengan tujuan untuk memudahkan proses perizinan dan investasi dalam bidang jasa konstruksi. (Baca Juga: Baca Juga Deregulasi untuk Perbaikan Kemudahan Berusaha)
Di bidang pendidikan, sebanyak 128 Permendikbud dicabut dan merevisi 24 Permendikbud. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mempermudah perizinan bagi tenaga pendidik dan lembaga pendidik dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Kemudian sebanyak 6 Permen Perdagangan dicabut untuk mempermudah perizinan impor besi baja dan prosedur ekspor produk kehutanan.
Lalu, 3 Permen Perhubungan juga dicabut dan sebanyak 5 Permen Perhubungan direvisi untuk mempercepat proses perizinan penggunaan kapal asing untuk kegiatan yang tidak termasuk mengangkut penumpang dan/atau barang yang semula 14 hari kerja menjadi 7 hari kerja. Sedangkan di sektor Perindustrian, sebanyak 19 Permen direvisi guna memberikan kemudahan impor barang sejenis yang sebenarnya tidak terkena kewajiban memenuhi standar SNI. Dan sebanyak 2 Permen di bidang pertanian dicabut dan merevisi 1 Permen Pertanian tentang pemasukan daging, pemasukan sapi, dan pedoman perizinan usaha perkebunan.
Di samping melakukan sejumlah pencabutan dan revisi di berbagai Kementerian/lembaga, di tahun 2016 pemerintah juga membuat rencana revisi beberapa Permen, seperti revisi 2 Permen BUMN tentang tata cara pengangkatan direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN, rencana revisi Permen ESDM tentang izin usaha bidang pertambangan mineral dan batubara serta minyak dan gas bumi, serta rencana penerbitan Permen Hukum dan HAM tentang permohonan perdaftaran merek.
“Kualitas regulasi Indonesia (2013) berada pada persentase 46 persen. Nilai ini jauh dibawah Singapura (100 persen), Brunei Darussalam (83 persen), Thailand (58 persen), Malaysia (72 persen), dan Philipina (52 persen),” tambah Diani.
Selain pembatalan dan revisi sejumlah regulasi, beberapa Kementerian juga melakukan simplifikasi regulasi seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Menko) yang telah melakukan 204 deregulasi melalui sejumlah paket kebijakan meliputi pencabutan, revisi, dan pembentukan regulasi baru.
Kementerian Dalam Negeri juga melakukan pembatalan 3.143 regulasi yang terdiri dari Peraturan dan Keputusan Menteri Dalam Negeri serta Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kepetingan umum, dan/atau kesusilaan serta menghambat investasi.
Lalu, Kementerian Hukum dan HAM, melalui agenda reformasi hukum yang meliputi penataan regulasi dengan penguatan pembentukan peraturan perundang-undangan, revitalisasi evaluasi peratuan perundang-undangan, serta penataan database peraturan perundang-undangan.
“Pelaksanaan reformasi regulasi ini akan disejalankan dengan RKP dan RPJMN (2015-2019) melalui mekanisme kerangka regulasi yang nantinya akan dijadikan bahan masukan untuk BPHN dalam rangka prolegnas dan Program Penyusunan PP dan Perpres,” ujarnya.
Diani melanjutkan, melalui mekanisme ini diharapkan tidak ada lagi regulasi yang terus-terusan masuk Prolegnas ataupun program penyusunan selama beberapa tahun berturut-turut sehingga dapat meminimalisasi inefisiensi anggaran yang selama ini mungkin terjadi,” ungkapnya.
Pentingnya Monitoring dan Evaluasi
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) M. Sholikin mengatakan, saat ini banyak materi muatan yang seharusnya cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Padahal, jika seandainya diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, pelaksanaanya menjadi lebih sederhana dan anggaran yang dibutuhkan relatif kecil.
Terlebih lagi, jika merujuk pada tahapan pembentukan perundang-undangan di dalam UU No 12 Tahun 2011, proses legislasi hanya dipahami sebatas membentuk, tetapi tidak mengatur tahapan monitoring dan evaluasi (monev). Dalam UU No.12 Tahun 2011, tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan terdiri dari Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan, Pengesahan, dan Pengundangan.
“Ada ruang implementasi yang luput dari institusi yang berwenang, seharusnya ada monitoring dan evaluasi dari sebuah UU. Sejauh ini proses legislasi hanya cukup pada hasil, padahal monev adalah bagian penting,” kata Sholikin.
Sholikin juga menyebutkan bahwa lemahnya pengawasan terhadap sebuah regulasi. Buktinya adalah tidak efektifnya judicial review di Mahkamah Agung (MA). Perkara JR di MA pada tahun 2016 hanya sebanyak 49, sementara pada Juni 2016 pemerintah tercatat membatalkan 3.143 peraturan daerah.
Belum lagi, hal yang nantinya akan menjadi batu sandungan pemerintah untuk membatalkan sejumlah regulasi adalah jalan pintas pembatalan yang sudah dihapuskan. Dalam putusan PUU MK dengan Perkara No 137/PUU-XIII/2015, norma kewenangan pemerintah (Gubernur dan Mendagri) untuk membatalkan Perda dihapus oleh MK. MK menyatakan bahwa pembatalan Perda Kab/Kota hanya dapat dilakukan oleh MA melalui mekanisme JR.
“Apa yang bisa dilakukan pasca putusan MK tersebut? Ya memperbaiki mekanisme pengawasan preventif,” tandasnya.
Sholikin menyimpulkan bahwa ada empat faktor yang membuat hiper regulasi yakni meningkatnya keinginan untuk diatur dalam UU, tidak diatur fungsi monev peraturan perundang-undangan, tidak efektifnya judicial review MA, dan penghapusan kewenangan pemerintah untuk membatalkan Perda Kab/Kota.
=============================================================
Sumber : http://www.hukumonline.com/
Terbit pada : Selasa, 18 April 2017
Tautan online: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58f6059199534/mengintip