Jakarta, Kompas – Ancaman Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghentikan pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2012 sekaligus bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki Badan Anggaran DPR. Pembenahan itu menyasar pada aspek tugas dan wewenang, mekanisme kerja, serta personel yang ditempatkan di Badan Anggaran DPR.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Ronald Rofiandri, Sabtu (24/9) di Jakarta menilai, apabila pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR menyerahkan (kuasa) pembahasan RAPBN kepada pimpinan DPR, hal itu menunjukkan gejala awal pengingkaran, termasuk terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Jika Banggar tetap tidak mau membahas RAPBN 2012, konsekuensinya yang akan digunakan adalah APBN 2011.
”Pandangan beberapa pengamat ekonomi, ini sangat membahayakan. Tentu mereka punya kalkulasi tersendiri dari sudut pandang moneter maupun fiskal,” ujar Ronald.
Seperti diberitakan Kompas, Kamis (22/9), Banggar DPR menghentikan pembahasan RAPBN 2012. Banggar mengembalikan pembahasan itu kepada pimpinan DPR hingga status kewenangan Banggar diperjelas.
”Kami memutuskan anggaran, tetapi jangan karena ada pihak lain yang menyalahgunakannya, kami ikut bertanggung jawab,” kata Ketua Banggar DPR Melchias Markus Mekeng sehari sebelumnya.
Namun, Ronald tidak dalam posisi menyatakan bahwa Banggar perlu dibubarkan karena hal itu terkait dengan fungsi sinkronisasi dan finalisasi anggaran. Jangan sampai pembubaran Banggar berujung pada ancaman dan penumpulan fungsi anggaran serta pengawasan DPR secara keseluruhan. Banggar sebagai alat kelengkapan DPR tidak hanya membahas RAPBN tahunan, tetapi juga membahas APBN perubahan dan pertanggungjawaban APBN.
”Reposisi Panggar ke Banggar juga ada di level (instrumen) pengaturan. Sekarang kan, di UU MD3 (UU No 27/2009), tugas Banggar dinyatakan secara detail dan tegas,” kata Ronald.
Ronald berpendapat, perlu reposisi alat kelengkapan DPR, salah satunya Banggar yang perlu perubahan wewenang dan mekanisme kerja. Hal itu untuk meredam potensi penyimpangan pada pembahasan anggaran.
Ronald menyebutkan, dalam praktiknya, Banggar sering melebihi apa yang menjadi tugas dan wewenangnya. Banggar bahkan membongkar apa yang menjadi kesepakatan antara komisi dan mitra pasangan kerja. Perlu ada pembatasan yang tegas dan ini bisa dilakukan melalui revisi UU No 27/2009. Proses kerja Banggar juga didorong untuk transparan dan tersedia ruang konsultasi publik.
Apung Widadi dari Indonesia Corruption Watch berpendapat, bisa saja Banggar dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPR, tetapi itu dirasa belum cukup produktif menimbang pengalaman di BK selama ini. Hal yang paling baik memang menjadikan momentum ini untuk memangkas kewenangan Banggar dalam pembahasan anggaran. Bisa saja kewenangan itu dikembalikan kepada Panitia Anggaran seperti pada DPR 2004-2009. (DIK)