SITUASI hak asasi manusia (HAM) Indonesia akan dievaluasi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 3 Mei 2017 melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR). Pada Mei 2017, Indonesia akan dievaluasi untuk kali ketiga setelah putaran pertama pada 2008 dan yang kedua pada 2012.
UPR merupakan mekanisme evaluasi hak asasi manusia yang dilakukan secara berkala antara negara yang satu dan negara yang lain.
Dalam rangka putaran ketiga UPR, beberapa perwakilan masyarakat sipil Indonesia berada di Jenewa untuk menyampaikan pandangan kritis mengenai situasi hak asasi manusia di sesi pra-UPR.
Terkait dengan situasi fundamental freedoms di Indonesia, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting melalui keterangan persnya, kemarin, menegaskan penikmatan kebebasan sipil di Indonesia kian merosot.
Hal itu disebabkan tiga hal. Pertama, rendahnya tingkat akuntabilitas negara dalam hal kapasitas bertanggung jawab, menjawab (answerability), dan menjalankan kewajibannya. Kedua, negara gagal mewujudkan prinsip negara hukum sebagai mekanisme proteksi hak asasi. Ketiga, negara pasif terhadap menyeruaknya aktor nonnegara yang mengganggu kebebasan sipil.
Sehubungan dengan hukuman mati dan kebijakan narkotika Indonesia, Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menjelaskan kebebalan pemerintah yang mempertahankan hukuman mati untuk mengatasi kejahatan narkotika ternyata terbukti gagal menurunkan angka peredaran gelap narkotika.
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah wajib mencari solusi yang bukan berdasarkan mitos melainkan yang berbasis ilmiah, dan membuka diri terhadap kerja sama dengan negara lain yang telah berhasil mengatasi problem peredaran gelap narkotika tanpa menerapkan kebijakan yang punitif.
“Singkatnya, Indonesia harus mencari solusi yang lebih cerdas dan bukannya asal keras dalam menangani persoalan narkotikanya.”
Selain itu, terdapat beberapa isu lain seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diangkat di sesi pra-UPR. Direktur Institut Dian/Interfidei Elga Sarapung mewakili koalisi Jaringan Antariman Indonesia (JAII) menyayangkan hak untuk memiliki rumah ibadah dan melaksanakan aktivitas keagamaan dan berkeyakinan serta hak untuk bebas dari ancaman kekerasan atas nama agama belum sepenuhnya dijamin pemerintah.
“Di berbagai kesempatan, pemerintah selalu menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki masalah dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, padahal realitas berbicara sebaliknya. Hal itu pun diafirmasi sejumlah negara lainnya.” (Gol/P-4)
=============================================================
Sumber : http://mediaindonesia.com
Terbit pada : Jumat, 07 April 2017
Tautan online: http://mediaindonesia.com/news/read/99846/penegakan