Pada UU Nomor 8 tahun 2016, diamanatkan pembentukan Komisi Nasional (Komnas) Disabilitas yang bakal mengontrol berbagai kebijakan pemerintah agar tetap melindungi penyandang disabilitas. “Saya mendorong penyandang disabilitas sebagai komisioner karena mereka yang paling tahu kebutuhannya,” kata Fajri Nursyamsi, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), kepada Reja Hidayat dari tirto.id, pada Senin (5/9/2016).
Bagaimana kesiapan pemerintaah dalam mengimplementasikan berbagai aturan di dalam UU Penyandang Disabilitas? Apa tantangannya? Berikut wawancaranya;
DPR telah mensahkan UU Penyandang Disabilitas pada Maret 2016. Bagaiamana implementasinya?
Jika melihat dari segi birokrasi, pemerintah masih merencanakan peraturan pelaksanaanya. UU Penyandang disabilitas kompleks karena mengatur 24 sektor terkait disabilitas. Hal itu patut dipandang positif karena memposisikan disabiltas sebagai isu multisektor.
Kalau di lingkungan birokrasi, kebanyakan instansi menunggu peraturan pelaksanannya karena berkaitan dengan masalah anggaran. Kita sering mendorong langsung ke kementerian untuk menerapkan undang-undang tersebut sambil menunggu peraturan pelaksananya.
Tampaknya bakal sulit penerapannya?
Sebenarnya tidak sulit untuk menerapkan regulasi ini. Memang dibutuhkan cara pandang yang baru. Misalnya membangun trotoar, harus dilengkapi dengan fasilitas ramah terhadap penyandang disabilitas seperti audio, visual dan running text. Jadi sebenarnya enggak perlu menunggu anggaran. Kita bisa melekatkan pada program-program yang sedang berjalan saat ini. Beberapa daerah juga sudah memulainya, seperti Padang, Jakarta dan Surabaya. Bahkan kepala daerahnya sudah menyerukan bahwa fasilitas publik harus ramah disabilitas. Tapi itu sifatnya masih parsial karena belum adanya sistem yang dibangun dari pusat.
Memang selama ini bagaimana cara pandang pemerintah terhadap penyandang disabilitas?
Kalau hari ini, pemerintah masih melihat penyandang disabilitas sebagai beban dan dianggap tidak memiliki kemampuan sama sekali. Lalu alokasi anggarannya di bidang sosial, seakan-akan sudah memenuhi hak-hak penyandang disabilitas.
Kurangnya pemahaman masyarakat maupun aparatur pemerintah terkait arti disabilitas dan keberadaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara. Adanya anggapan bahwa disabilitas merupakan aib, kutukan dan memalukan, membuat keluarga menjadi tidak terbuka mengenai anggota keluarganya yang memiliki disabilitas.
Penyandang disabilitas tidak mendapat hak dan kesempatan yang sama seperti warga masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas disamakan dengan orang sakit dan tidak berdaya, sehingga tidak perlu diberikan pendidikan dan pekerjaan. Mereka cukup dikasihani dan diasuh untuk kelangsungan hidupnya.
Cara padang seperti itu harus ditinggalkan karena Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), melalui UU Nomor 19 tahun 2011. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang berkomitmen melalui yuridis formal untuk mengambil segala upaya dalam mewujudkan secara optimal, baik dalam bentuk nilai kehormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagaimana yang tercantum dalam CRPD.
Apakah masih ada diskriminasi kepada penyandang disabilitas saat masuk sekolah atau universitas?
Karena kita masih menganut cara pandang lama, maka masih sangat signifikan diskriminasinya. Di perguruan tinggi, para penyandang disabilitas menurun. Ini bukan hanya masalah biaya atau adaptasi, tetapi adanya perlakuan diskriminasi dari lembaga pendidikan. Jadi faktor-faktor itu yang menyebabkan orang putus sekolah. Kalau mereka masih sekolah, itu yang punya keberanian tinggi. Namun banyak juga yang tidak memiliki keberanian untuk melanjutkan sekolah.
Ketika ada diskriminasi dari pihak perguruan tinggi, apakah ada sanksi dalam regulasi yang baru?
Dalam aturan baru ada. Bisa dicabut izinnya atau sanksi kepada pelakunya.
Apa pemicu utama terjadinya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas?
Pemicu utama berpangkal dari melembaganya sikap dan perilaku stereotype dan prasangka mulai dari kalangan awam, kelompok intelektual hingga elit penguasa. Namun yang paling berbahaya jika sikap tersebut tumbuh dan bersemayam dalam diri para penguasa. Sebagai decision maker, mereka berpotensi melahirkan kebijakan yang bias HAM. Sebab dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan, berangkat dari rendahnya pengetahuan secara komprehensif tentang penyandang disabilitas. Akibatnya, kebijakan yang lahir penuh dengan nuansa diskriminasi, sinisme, apriori, bahkan apatis.
Disabilitas merupakan isu multisektor, tidak hanya terikat pada sektor sosial saja. Isu disabilitas juga berkaitan dengan sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, trasnportasi, komunikasi, dan sektor lainnya. Hal itu menyebabkan perubahan yang akan dilakukan ke depan haruslah saling beriringan dan harmonis antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.
Bagaimana dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura dalam melindungi hak-hak penyandang disabilitas?
Kalau bercermin dari Malaysia, fasilitas mereka sudah lebih baik. Mereka memulainya dari gerakan fasilitas. Jadi fasilitas harus disesuaikan dengan penyandang disabilitas agar mereka bisa mengaksesnya. Jadi yang didahulukan adalah penyesuaian fasilitas. Jika tadinya sebuah bangunan tangga semua, ada bidang miringnya dan lift. Semua dimulai dari fasilitas. Pemerintah sudah membuat UU, harusnya bisa menyesuaikan fasilitas publik untuk penyandang disabilitas.
Di dalam UU Penyandang Disabilitas ada waktu tiga tahun untuk membentuk Komnas Disabilitas?
Kelembagaan ini merupakan isu utama karena menjadi koordinator untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait disabilitas di berbagai sektor. Namun kendalanya, untuk membentuk lembaga ini perlu diterbitkan perpres terlebih dulu yang mengatur terkait pengisian jabatan, kelembagaan, dll.
Perpresnya belum kelihatan. Saya melihat belum ada inisiatif dari pihak terkait untuk membentuk perpres terkait Komnas Disabilitas. Di tambah iklim pemerintahan yang tidak ramah dengan lembaga baru. Jadi saya juga belum tahu nasibnya bagaimana. Walaupun sudah diamanatkan oleh UU, tapi pelaksananya ini pemerintah. Dan ingat, dari awal pemerintah tidak setuju dengan pembentukan lembaga ini.
Kalau melihat dari segi kebutuhan, maka Komnas Disabilitas sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu tetap harus dikawal. Jangan sampai ada pihak tertentu yang hanya mencari jabatan, tetapi tidak paham kebutuhan penyadang disabilitas. Jadi orang yang menjadi komisioner harus paham persoalan tersebut. Saya mendorong penyandang disabilitas sebagai komisioner karena mereka yang paling tahu kebutuhannya.
Langkah apa yang harus diambil pemerintah?
Pemerintah harus mulai menyiapkan peraturan pelaksanannya. Khususnya Bappenas yang sudah mulai menyadari pentingnya hak-hak disabilitas. Karena itu Bappenas memiliki peran untuk mengubah cara pandang berbagai kementerian. Dan harus disosialisasikan secara masif. Di lain sisi, program terencana sedang dirintis oleh Bappenas dan sudah mengalokasikan anggaran. Sekarang bagaimana cara menggerakkannya dengan baik. (rej/nqm)
============================================================================
Sumber : https://tirto.id/
Diakses pada : Rabu, 05 Oktober 2016