Dua isu utama yang selalu menjadi cela berulang dalam pemilu, yaitu mahar politik dan politik uang. UU Pilkada memang telah mengatur parpol tidak boleh menerima imbalan apa pun berkaitan pencalonan sesuai Pasal 47, tapi pasal itu masih sekadar formalitas karena tidak ada penindakan dan regulasi yang jelas.
Peneliti ICW Almas Sjafrina mencontohkan, dalam catatan ICW, terdapat empat bakal calon kepala daerah yang mengaku dimintai uang oleh parpol untuk maju dalam pilkada, tapi pengakuan itu tidak ditindaklanjuti, baik oleh Bawaslu maupun kepolisian untuk kemudian menindak parpol yang bersangkutan.
Untuk itu, perlu regulasi yang jelas dalam revisi UU Pilkada agar bisa menindak pelaku politik mahar meskipun belum terjadi transaksi. Salah satu bakal calon yang pernah dimintai `uang perahu’, yakni Sebastian Salang dalam pilkada Kabupaten Manggarai, NTT.
“Saat ini, hanya terbatas klausul pemberi dan penerima, tapi bagaimana (menindak) parpol yang meminta, tapi bakal calon tidak bersedia memberikan (uang)? Proses memberi dan menerima belum terjadi, tapi permintaan itu sudah ada,“ ungkap Almas.
Terkait dengan politik uang, Almas berpendapat isu itu harus menjadi perhatian dalam revisi UU Pilkada sehingga tidak menjadi permasalahan yang berulang.Ia meminta adanya klausul larangan dan sanksi bagi pelaku politik uang. Calon yang melakukan politik uang diusulkan untuk dibatalkan dalam pencalonan, meskipun pelakunya bukan anggota tim kampanye dari pasangan calon tersebut.
“Politik uang banyak dilakukan tidak langsung oleh tim kampanye atau pasangan calon, tetapi oleh broker-broker yang di luar tim kampanye. Bisa sanksi pidana atau denda berkali-kali lipat dari uang yang diberikan,“ jelasnya.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu Nasrullah mengatakan perlu penguatan kewenangan Bawaslu jika ingin efektif dalam menindak politik uang. Seharusnya, Bawaslu diposisikan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan pidana pemilu. Pasalnya, institusi kepolisian dan kejaksaan melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu tidak efektif dalam menangani pidana pemilu.
“Jadi tinggal meminta penyidik dari unsur kepolisian dan penuntut dari kejaksaan di lingkungan Bawaslu,“ ujar Nasrullah.Syarat sengketa Peneliti KoDe Inisiatif, Adelina, menyebut aturan mengenai syarat sengketa yang bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi perlu diubah, yakni bukan hanya didasarkan pada selisih hasil pemilu sebesar 2%, melainkan harus melihat pokok permasalahan.
Selain itu, terkait sengketa hasil pemilu calon tunggal, Adelina menyebut perlu adanya kewenangan bagi masyarakat untuk mengajukan sengketa hasil ke MK, bukan hanya pemantau pemilu.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengemukakan bahwa syarat 2% itu menjadi permasalahan serius dalam pilkada. Menurutnya, sengketa akan lebih fair jika mendasarkan pada keadilan subtantif, tergantung dalil pemohon kuat, dan bisa berpengaruh signikan pada hasil.
Sementara itu, Ketua KPU Husni Kamil Manik menegaskan pilkada serentak bertujuan penyelenggara pemilu jadi lebih baik dan mudah ketimbang tidak serentak. Jika pilkada tidak serentak, pemberitaan di media massa akan didominasi masalah penyelenggaraan dan sengketa pilkada. (AU/P-4)
erandhi@mediaindonesia.com
============================================================================
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/
Terbit pada :Senin, 25 April 2016
Tautan online: http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2016/04/25/ArticleHtmls/Pertegas-Sanksi-Politik-Uang-25042016005003.shtml?Mode=1#