Jakarta, CNN Indonesia — Mahkamah Agung didesak untuk menarik Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2014 tentang pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali. Peneliti Bidang Pidana Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Susanto Ginting berpendapat MK tidak memiliki alasan hukum yang kuat untuk menerbitkan surat tersebut.
“Dasar berlakunya Surat Edaran MA, yakni Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA, menurut saya tidak tepat,” ujar Miko ketika dihubungi CNN Indonesia, di Jakarta. Menurutnya, kedua pasal tersebut mengatur permohonan PK untuk perkara umum seperti perkara agama dan perdata.
Sementara itu, pengajuan PK untuk perkara pidana dan militer diatur dalam pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Sudah diputus MK inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945),” ujarnya.
Dalam putusan Nomor 34/PUU-XI/2013, MK membatalkan pasal 268 ayat 3 KUHAP yang membatasi pengajuan PK sebanyak satu kali. Dengan tidak berlakunya pasal tersebut, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK atas PK.
“Surat Edaran MA seharusnya tidak membuat norma baru yang bersifat substantif. Itu hanya administratif dan sifatnya internal,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut. Menurutnya, surat edaran tersebut perlu dikaji ulang karena berpotensi menimbulkan kekacauan hukum. Terlebih, surat tersebut dinilai lebih memberikan kerugian alih-alih manfaat.
“Pengadilan di tingkat bawah akan ragu mengajukan PK atau tidak. Jaksa juga ragu. Yang paling menjadi korban sebenarnya hakim. Kalau ada permohonan PK, kalau tidak meneruskan ke MA maka dia melanggar UU KUHAP dan putusan MK sehingga dia bisa tergancar kode etik,” katanya.
Senada dengan Miko, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menuturkan surat edaran tersebut bertentangan dengan konstitusi.
“Mahkamah Agung harus segera mencabut Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2014 karena keberlakukan surat bertentangan dengan konstitusi. Apabila MA tidak mencabut, maka ICJR akan mengambil langkah-langkah, sesuai prosedur hukum yang berlaku, untuk membatalkan keberlakuan surat tersebut,” ujarnya melalui pernyataan yang diterima CNN Indonesia, Senin (5/1).
Sebelumnya, Surat Edaran MA tertanggal 31 Desember 2014 diterbitkan dengan pertimbangan untuk memberi kepastian hukum. Ketua MA Hatta Ali juga mneginstruksikan Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas pengajuan PK ke MA.
Namun MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009.
Aghnia Adzkia
(sip/sip)
Sumber : www.cnnindonesia.com
Dirilis pada : Selasa, 6 Januari 2015