SISTEM peradilan di Indonesia masih perlu dibenahi. Hal itu mengacu pada masih banyak pengadilan di Indonesia yang belum disertifikasi. Hingga saat ini baru 24 pengadilan tinggi dan 185 pengadilan negeri yang terakreditasi.
Ketua Tim Penjaminan Mutu Mahkamah Agung Wahyudin mengatakan, selama dua tahun terakhir, pihaknya telah melakukan sertifikasi terhadap 30 pengadilan tinggi dan 352 pengadilan negeri di seluruh Indonesia.
“Pengadilan tinggi yang belum terakreditasi itu umumnya berada di lokasi yang jauh, di timur Indonesia seperti Jayapura, serta bagian ujung lainnya, Aceh,” ucap Wahyudin saat ditemui Media Indonesia di Jakarta, kemarin.
Ia hadir dalam diskusi publik bertajuk Penilaian Kinerja Pengadilan. Wahyudin menambahkan kurang tanggapnya pimpinan di pengadilan masing-masing dalam proses akreditasi ikut menyebabkan sedikitnya jumlah pengadilan yang terakreditasi.
“Sosialisasi sudah dilakukan sejak 2015 lalu. Ke depannya, akreditasi akan berfokus pada pengadilan tinggi agar memacu pengadilan negeri mempersiapkan akreditasi. Pada 2019, semua sudah terakreditasi,” imbuh dia.
Kriteria penilaian yang dipakai dalam akreditasi ialah leadership, strategic planning, customer focus, document system, resource management, process management, dan performance results. “Kalau keseluruhan skornya mencapai 700 lebih, akan mendapatkan nilai A, 500 sampai 700 dapat B. Kurang dari itu tidak akan kami nilai,” terang dia.
Menurutnya, ada standar nasional yang mengadopsi Kerangka Kerja Internasional untuk Penilaian Pengadilan Unggul. Proses akreditasi bertujuan demi reformasi birokrasi.
“Reformasi birokrasi mengharuskan organisasi cepat merespons seluruh kebutuhan dan tuntutan masyarakat,” cetus Wahyudin.
Peningkatan kinerja
Kepala Badan Pengawasan MA Nugroho Setiadji mengakui masih dibutuhkan peningkatan kinerja MA karena masih ditemukan banyak pelanggaran di pengadilan. “Yang kami temukan memang masih adanya masalah indisipliner, lalu ada juga juru sita yang kami berhentikan di PN Jaksel. Kami tidak akan toleransi bila ada pegawai yang memungut biaya tidak sesuai dengan semestinya,” terang dia.
Namun, kata Nugroho, badan pengawas memiliki sumber daya manusia yang terbatas. Jumlahnya 150 personel.
Mereka bertugas melakukan pengawasan kepada seluruh pengadilan di Indonesia. Jumlah tersebut masih kurang dari memadai.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Estu Dyah Arifianti menilai masih banyak aspek yang perlu dibenahi MA. Ditemukan ketidakharmonisan antara badan peradilan umum, badan pengawas, MA, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
“Dalam temuan kami, ada banyak ketidakharmonisan. Kami juga melihat masih ada laporan akreditasi yang belum diberikan. Padahal, laporan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab kepada negara. Kalau tidak ada laporan, tidak ketahuan pengelolaan keuangan negaranya,” terang Estu. (P-4)
============================================================================
Sumber : www.mediaindoneisa.com
Diakses pada : Jum’at, 25 Agustus 2017
Tautan online: http://www.mediaindonesia.com/news/read/119332/