Institusi penegak hukum dapat bergerak tanpa menunggu hasil proses etik di MKD
Persidangan tertutup dalam kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya Novanto atau lebih dikenal ‘papa minta saham’ mendapat penilaian negatif. Soalnya harapan publik agar persidangan dapat terbuka ternyata kandas. Persidangan tertutup MKD itu dinilai meragukan. Oleh sebab itu, penegak hukum didesak memproses perkara tersebut.
Peneliti Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Susanto Ginting, berpandangan pemeriksaan etik terhadap Ketua DPR Setya Novanto oleh MKD kian mencemaskan. Ia khawatir keputusan MKD dengan persidangan tertutup menunjukan betapa mengabaikan semangat keterbukaan dan akuntabilitas. Bahkan cenderung diwarnai dengan kepentingan politik praktis.
Bukan menjadi rahasia umum, dugaan pelanggaran etik yang diduga dilakukan Setnov bersinggungan dengan dugaan pelanggaran hukum. Makanya dengan meragukannya persidangan etik MKD, aparat penegak hukum mestinya sudah bergerak menempuh langkah nyata. Setidaknya, aparat lembaga penegak hukum tak lagi bergantung terhadap proses etik yang dilakukan MKD.
“Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) memulai penyelidikan yang melibatkan Setya Novanto patut diawasi,” ujarnya melalui siaran pers kepada hukumonline, Selasa (8/12).
Menurut Miko, Kejagung diharapkan tak lagi mengulang proses penegakan hukum yang meragukan. Pasalnya dalam penyidikan kasus Cessie Bank Bali yang diduga melibatkan Setnov berujung buntu. Setnov pun masih dapat melenggang tanpa jeratan. “Pengusutan kasus ini harus dilakukan secara serius, tuntas dan bebas dari intervensi,” katanya.
Lebih lanjut, Miko berpandangan KPK mestinya ikut bergerak. Pasalnya lembaga anti rasuah itu dapat menggunakan kewenangannya. Yakni, melakukan supervisi dan koordinasi dalam melakukan proses penyelidikan perkara oleh Kejagung sebagaimana diamanatkan dalam UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Bahkan dalam beberapa kondisi tertentu dan apabila sudah masuk tahap penyidikan, KPK diberi kewenangan mengambil alih penanganan kasus tersebut,” katanya.
Tak hanya Kejagung dan KPK, Polri mesti bergerak pula melakukan pengusutan terhadap dugaan pencatutan nama Presiden dan Wapres. Sebab pencatutan nama dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan yang tidak mensyaratkan adanya aduan atau laporan.
Menurut Miko, pengusutan secara tuntas terhadap kasus Setno menjadi titik awal dalam memperbaiki citra DPR. Dengan begitu setidaknya dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegak hukum. “Jangan sampai harapan publik kembali pudar karena ketidakberdayaan penegak hukum dalam pengusutan kasus ini,” katanya.
Ia menilai proses penegakan hukum dan pemeriksaan etik tidak saling mengenyampingkan. Yakni penegkan hukum dapat berjalan tanpa menunggu hasil proses etik di MK. Penegakan hukum, kata Miko, dapat didorong agar proses pengusutan kasus tersebut secara hukum dapat berjalan.
“Karena proses-proses etik yang sedang berjalan tetapi menuju ke arah yang meragukan,” katanya.
Terpisah, anggota Komisi III Arsul Sani berpendapat, kemarahan Presiden Jokowi dan Wapres JK adalah hal yang wajar ketika namanya dicatut untuk kepentingan tertentu. Ia menilai menjadi haknya untuk melaporkan ke penegak hukum sebagai warga negara dan kepala negara.
“Itu hak beliau (melaporkan, red) siapapun namanya dicemarkan, warga negara biasa saja,” ujar politisi PPP itu.
Anggota Komisi III lainnya, Ruhut Sitompul berpandangan Kejagung sebagai pembantu presiden dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus dan penuntutan. Ia menilai Kejagung mesti jemput bola, tak lagi bersifat menunggu. Terlebih barang bukti rekaman percakapan original sudah dikantongi Kejagung.
“Mereka harus jemput bola. Apalagi Jaksa Agung bilang ini bukan delik aduan. Jemput bola, panggil saja Setnov. Kan sudah dengar keterngan dari Sudirman dan Maroef,” ujar politisi Demokrat itu.
Sementara itu, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dari Fraksi Partai Nasdem, Akbar Faisal, mengaku menerima informasi bahwa Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla bakal melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke Polri. Menurutnya, pelaporan itu didasari atas dugaan pencatutan nama keduanya oleh Setya Novanto.
“Saya dengar Presiden dan Wapres akan melaporkan SN ke polisi atas pencatutan namanya tersebut,” kata Akbar.
Akbar tidak mengatakan dari mana asal informasi tersebut. Namun, dia menyatakan mendukung penuh langkah pelaporan itu. “Saya dengar-dengar (informasi pelaporan itu). Saya mendukung penuh,” ujarnya.
Kuasa hukum Setnov, Firman Wijaya mengatakan semua pihak diminta menghormati proses yang sedang berjalan di MKD. Maka dari itu, kliennya enggan menanggapi pandangan dari berbagai pihak. “Beliau ingin fokus pada pemeriksaan. Dan itu spirit beliau sebagai suara representatif dewan dan tidak boleh memberikan opini yang tidak jelas,” pungkasnya.
============================================================================
Sumber : www.hukumonline.com
Dirilis pada : Selasa, 8 Desember 2015
Link: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5666b0e54e814