Terlebih jika wilayah di sekitar Kepulauan Natuna disengketakan negara lain.
Putusan Pengadilan Tetap Arbitrase (Permanent Court of Arbitration/PCA) dalam menyelesaikan kasus Filipina-Cina di Laut Cina Selatan turut disambut baik oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Alasannya, putusan tersebut bisa menjadi yurisprudensi bagi Indonesia dalam menghadapi sengketa serupa.
“Putusan tersebut jadi yurisprudensi, pegangan Indonesia kalau kita mau bawa masalah ini ke Tribunal Laut (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),” kata Peneliti PSHK M Faiz Aziz kepada hukumonline, Selasa (19/7).
Yurisprudensi yang dimaksud, lanjut Aziz, jika wilayah di sekitar Kepulauan Natuna yang merupakan milik Indonesia tersebut mulai “disentuh” negara lain. Apalagi, terkait Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang jaraknya mencapai 200 mil laut dari garis pantai, yang diketahui bersinggungan dengan klaim Cina atas 9 Dash Line (garis putus).
“Jika Cina intens seperti yang terjadi terhadap Filipina dengan Spratlys Island dan Scarborough Shoal, untuk wilayah Kepulauan Natuna, baru Indonesia bersikap,” kata Aziz.
Bahkan, sikap Indonesia bisa dengan menyinggung putusan yang belum lama dijatuhkan atas sengketa Cina dan Filipina bahwa sudah ada yurisprudensi mengenai wilayah tersebut. “Kita bisa sengketakan itu ke mahkamah internasional,” tambah Aziz.
Terkait putusan terhadap sengketa Cina dan Filipina sendiri, Aziz menyarankan agar Indonesia bersikap wait and see. Meski begitu, Indonesia tetap menunjukkan sebagai sebuah negara yang berdaulat terutama di sekitar wilayah Kepulauan Natuna. “Kita jaga keamanan wilayah, khususnya di ZEE Kepulauan Natuna,” tandasnya.
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Indonesia sepatutnya putusan PCA terkait konflik di Laut Cina Selatan. “Indonesia harus mengapresiasi putusan PCA dalam perkara yang diinisiasi oleh Pemerintah Filipina terhadap Pemerintah Cina terkait konflik di Laut Cina Selatan karena salah satu yang penting adalah dinyatakan tidak sah klaim Cina atas 9 Dash Line,” ujarnya.
Ia mengatakan, pemerintah seharusnya segera membuat pernyataan yang mengimbau semua negara menghormati putusan arbitrase. Kemudian, Cina menahan diri untuk tidak meningkatkan eskalasi kehadiran militer di Laut Cina Selatan. Setelah itu, negara-negara ASEAN sebaiknya melakukan dialog bersama Cina dengan adanya putusan itu sehingga negara tirai bambu itu tidak merasa dipojokkan.
Untuk diketahui, kasus ini tidak hanya terkait dengan beberapa negara ASEAN yang mengklaim kawasan itu, tetapi juga kepentingan umum seluruh masyarakat internasional. Putusan PCA telah memastikan dan menjaga kebebasan navigasi dan penerbangan dalam satu rute laut dunia yang paling penting.
Putusan PCA juga menjamin dunia sederajat, aturan hukum yang tidak mengecualikan negara lain, membawa perdamaian dan kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Meski begitu, bukan hanya Cina sebagai pihak yang terang-terangan menerima putusan tersebut. Pihak lain yang menolak adalah Taiwan.
“Keputusan yang diberikan oleh pengadilan tetap Arbitrase atas konflik Laut Cina Selatan benar-benar tidak dapat kami terima karena merendahkan status kami sebagai negara beraulat,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri (MOFA) Taiwan dalam keterangan tertulis.
============================================================================
Sumber : www.hukumonline.com
Terbit pada : Rabu, 20 Juli 2016