Untuk mengantisipasi potensi besarnya jumlah perkara judicial review atas perda, MA perlu mengubah hukum acara judicial review agar lebih transparan dan akuntabel.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meminta Pemerintah cq Kemendagri untuk melaksanakan putusan MK No 137/PUU-XIII/2015 terkait penghapusan norma wewenang pembatalan peraturan daerah (perda) kabupaten/kota oleh Mendagri. Sebab, putusan itu berpengaruh hilangnya “jalan pintas” Pemerintah ketika melakukan deregulasi terhadap berbagai perda yang dinilai menghambat investasi di daerah. Seperti yang sudah dilakukan pada Juni 2016 lalu, ada 3.143 perda yang dibatalkan Pemerintah.
“Putusan ini harus dipatuhi dan ditindaklanjuti,” ujar Direktur PSHK M. Nur Sholikin dalam keterangan tertulisnya yang diterima hukumonline, Selasa (11/4/2017). Baca Juga: Putusan MK Berdampak pada Program Deregulasi Sektor Investasi
Sholikin menilai Konsekuensi dari Putusan MK tersebut adalah Pemerintah harus mengefektifkan metode pengawasan preventif ketika akan menerbitkan perda. Dalam arti, Pemerintah dalam hal ini Kemendagri dan gubernur harus lebih mengefektifkan evaluasi rancangan perda. Metode ini telah dianjurkan oleh MK dalam pertimbangan hukum Putusannya.
Hal ini diatur Pasal 245 UU Pemda yang menyebut Mendagri dan gubernur memiliki kewenangan mengevaluasi jenis rancangan perda tersebut. “Mekanismenya juga sudah diatur dalam Pasal 242 dan Pasal 243 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang mengatur mekanisme register perda sebelum diberlakukan,” kata Sholikin.
Dia menerangkan Pemerintah dalam hal ini gubernur dan Mendagri harus menjadikan tahapan register tidak sekedar bersifat administratif pengesahan perda, tetapi juga menjadi tahapan evaluasi (substansi) rancangan perda. Dengan begitu, koreksi terhadap setiap rancangan perda yang berpotensi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, kepentingan umum, dan kesusilaan dapat dilakukan lebih awal (deteksi dini).
“Efektivitas pengawasan preventif juga diperlukan bagi rancangan perda yang mengatur APBD, retribusi, pajak dan tata ruang daerah yang potensial menghambat investasi di daerah,” kata dia.
Menurutnya, kewenangan ini strategis untuk menekan terbitnya perda yang berpotensi menghambat investasi di daerah, terutama terkait dengan retribusi dan pajak. “Tantangan bagi Kemendagri perlu melakukan penataan ulang mekanisme pengawasan preventif ini dari sisi regulasi maupun kelembagaan.
Di sisi lain, putusan MK ini juga berpengaruh bagi Mahkamah Agung (MA). Dengan adanya Putusan MK itu, maka pembatalan perda kabupaten/kota hanya dapat dilakukan melalui judicial review di MA. Sebab, potensi perkara yang masuk untuk pengajuan judicial review terhadap perda kabupaten/kota akan jauh lebih besar.
“Selama ini jumlah perkara judicial review perda yang ditangani MA masih sangat sedikit. Tahun 2016, hanya ada 49 perkara yang ditangani, 8 perkara diantaranya pengujian terhadap perda,” paparnya.
Dengan potensi jumlah perkara judicial review atas perda semakin meningkat ini, kata Sholikin, MA perlu mengubah hukum acara judicial review agar lebih transparan dan akuntabel. “MA perlu juga mengkaji alternatif sistem penanganan perkara dengan melihat potensi semua jenis perkara yang masuk yang tidak sebanding dengan jumlah hakim agung yang ada,” sarannya.
Seperti diketahui, MK hanya mengabulkan pengujian Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan APKASI bersama 45 Pemkab. MK menyatakan, aturan mekanisme pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri inkonstitusional alias bertentangan dengan UUD 1945. (Baca Juga: Catat!!! Kini Pembatalan Perda Kabupaten/Kota Wewenang MA)
MK beralasan, Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang memberi wewenang menteri dan gubernur membatalkan perda kabupaten/kota selain bertentangan peraturan yang lebih tinggi (UU), juga menyimpangi logika bangunan hukum yang telah menempatkan MA sebagai lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam hal ini, perda kabupaten/kota, seperti ditegaskan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Lebih lanjut, pembatalan perda kabupaten/kota melalui keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seperti diatur Pasal 251 ayat (4) UU Pemda, menurut MK tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia. Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Karena itu, demi kepastian hukum dan sesuai dengan UUD 1945, pengujian atau pembatalan Perda (kabupaten/kota) menjadi ranah kewenangan konstitusional MA.
=============================================================
Sumber : http://www.hukumonline.com/
Terbit pada : Selasa, 11 April 2017
Tautan online: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58ec93459830f/putusan