JAKARTA, Kompas.com – Kericuhan yang terjadi saat rapat paripurna Dewan Perwakilan Daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/3/2016) lalu, mendapat kritik pedas dari berbagai pihak.
Pasalnya, mereka meributkan soal pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun yang sebenarnya tidak berpengauh pada peningkatan kinerja DPD.
Pengamat hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, melihat kericuhan yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah RI adalah tindakan yang kontra produktif.
Ia menilai, pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD merupakan satu hal yang sebenarnya tidak perlu diributkan, karena panjangnya masa jabatan tidak akan membawa pengaruh signifikan terhadap kinerja DPD itu sendiri.
Sementara, selama dua tahun terakhir, kinerja DPD dianggap tidak terlalu baik.
Tidak ada RUU dan komentar politik yang dihasilkan.
“Seharusnya mereka fokus pada perbaikan kinerja, bukan malah meributkan soal masa jabatan pimpinan. Itu tidak penting sama sekali,” ujar Bivitri ketika dihubungi Kompas.com, Jumat siang (18/3/2016).
Lebih lanjut ia mengatakan, sikap yang ditunjukkan oleh DPD membuat masyarakat tidak bersimpati, sementara selama ini masyarakat sipil selalu mendorong agar kewenangan DPD diperkuat.
Kewenangan DPD selama ini, kata Bivitri, dinilai terlalu lemah.
DPD tidak memiliki kewenangan untuk membuat UU dan menentukan pejabat publik.
“Mereka hanya bisa mengajukan rancangan UU dan ikut dalam pembahasan,” ungkapnya.
Sementara itu, Pengamat politik sekaligus dosen Fakultas Komunikasi Politik Universitas Bengkulu, Lely Arrianie, menyayangkan kericuhan yang terjadi.
Menurutnya, kericuhan tersebut merupakan contoh pembelajaran politik yang buruk, tidak cantik sekaligus mempertontonkan perilaku politik yang tidak layak.
Sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah, kata Lely, seharusnya pandai mengemas pesan politik termasuk ketidaksepakatan politik dengan argumentasi politik yang santun tapi tepat sasaran.
“Secara pribadi saya tidak menolerir kebodohan sikap politik para senator yang menyelesaikan persoalan apalagi internal dengan kericuhan,” ujar Lely saat dihubungi Kompas.com, Jumat (18/3/2016).
Lely menjelaskan, Ketua DPD Irman Gusman seharusnya bersikap sebagai negarawan.
Ia harus mengambil sikap sesuai dengan konsistensi pembahasan tata tertib dalam sidang paripurna sebelumnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, UU 17 tahun 2014 (UU MD3) tidak mengatur tentang teknis pemilihan dan penggantian pimpinan DPD, juga jangka waktu seseorang menjadi menjabat sebagai pimpinan.
Jangka waktu jabatan pimpinan DPD selama 5 tahun ataupun 2,5 tahun sebagaimana diusulkan menjadi wujud kesepakatan para anggota yang diatur dalam tata tertib.
Tata tertib tersebut dibuat bersama seluruh unsur terkait dan pembahasannya dilakukan dengan mekanisme yang berlaku yakni rapat paripurna luar biasa DPD pada 15 Januari 2016.
“Di dalam UU diatur mengenai siklus 5 tahunan. Artinya jika mereka mau 2,5 tahun atau 5 tahun dalam satu siklus penggantian pimpinan ya nggak apa-apa. Asal jangan lebih dari 6 tahun. Rasanya tidak ada salahnya diikuti sebagai kesepakatan bersama,” ucapnya.
Kenapa Ricuh?
Bivitri Susanti menduga kericuhan yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah disebabkan oleh persoalan fasilitas dan gaji.
Menurut Bivitri, fasilitas dan gaji yang diterima oleh pimpinan DPD jauh berbeda dengan anggota biasa.
“Misalnya soal gaji. Itu berbeda dngan anggota biasa. Dari fasilitas, jenis mobil dan plat nomer juga berbeda antara pimpinan dan anggota. Saya menduganya ke situ,” ujar Bivitri.
Dugaan tersebut muncul karena kericuhan terkait pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD adalah satu hal yang aneh.
Ia mengungkapkan, dari sisi fungsi, wewenang dan kinerja, kedudukan antara anggota dengan pimpinan itu sama.
Pimpinan DPD hanya berfungsi layaknya koordinator. Namun, kenyataannya jabatan tersebut seakan ditinggikan.
Selain itu, menurut Bivitri, panjangnya masa jabatan tidak akan membawa pengaruh signifikan terhadap kinerja DPD itu sendiri.
Sedangkan Lely Arrianie mencoba menganalisis dari sisi yang berbeda. Menurut Lely, DPD selama ini memang memang nampak kurang bergigi.
Sementara posisi orang-orang yang sesungguhnya diposisikan sebagai senator itu tidak memiliki posisi tawar yang sejajar dengan DPR, entah karena kapasitas atau manajemen kepemimpinan sebagai lembaga tinggi negara.
============================================================================
Sumber : nasional.kompas.com
Terbit pada : Jumat, 05 Februari 2016
Tautan online: http://nasional.kompas.com/read/2016/03/19/13124991/