Pemerintah menyatakan mendukung proses pemeriksaan atau sidang permohonan Hak Uji Materiil (HUM) bersifat terbuka. Sidang terbuka akan membuka ruang adu argumentasi sehingga kebenaran lebih terungkap dan tidak dimonopoli satu pemikiran.
Perubahan proses pemeriksaan HUM menjadi benar-benar terbuka mendapat dukungan dari sejumlah kalangan. Setelah Pemerintah tak keberatan, kini para pengamat memberikan dukungan atas keterbukaan sidang HUM.
M. Nur Sholikin, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), berpendapat sidang HUM sudah selayaknya dilakukan terbuka. ”Harus terbuka supaya publik mengetahui”, ujarnya saat dihubungi hukumonline(17/4).
Menurut Sholikin, alasan harus terbukanya sidang HUM di Mahkamah Agung harus dilihat dari objek yang diuji dalam HUM. Secara umum, peraturan perundang-undangan itu mengikat secara umum sehingga melihat sifatnya yang mengikat umum itu berdampak pada proses pengujiannya. “Objek yang diuji itu adalah peraturan perundang-undangan yang mengikat secara umum. Karena sifatnya yang mengikatnya secara umum, maka pengujiannya juga seharusnya diketahui oleh publik”, ujarnya.
Dukungan serupa datang dari Abdul Fickar Hadjar. Advokat yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini mengatakan transparansi sudah menjadi karakter pengadilan saat ini. Sidang terbuka bisa meminimalisasi penyimpangan atau penyelewenangan hukum.
”Makanya ada istilah, ’matahari itu pembunuh kuman yang paling efektif’, kan gitu. Jadi, kalau transparan semua bisa keliatan, orang tidak berani macam-macam”, ujarnya kepada hukumonline (17/4).
Ketertutupan proses sidang, kata Sholikin, bisa berdampak pada akuntabilitas proses pemeriksaanya. “Ketertutupan proses ini juga memberikan kelemahan bagi akuntabilitas proses pemeriksaan perkara hak uji materil ini”, paparnya
Sholikin melihat, dalam praktek proses sidang HUM seolah disamakan dengan penanganan terhadap perkara biasa, yaitu seperti kasasi atau peninjauan kembali. “Harusnya dibuat berbeda, karena memang berbeda yang satu adalah untuk kepentingan umum. Pengujian peraturan perundang-undangan itu terkait dengan kepentingan umum”, jelasnya.
Sidang HUM memang selalu disebut dilakukan dalam persidangan yang ’terbuka untuk umum’. Tetapi bukan terbuka seperti layaknya sidang-sidang pengujian di Mahkamah Konstitusi. Sidang yang menghadirkan saksi, ahli, dan para pihak saling adu argumentasi perlu menjadi bagian dari rangkaian penggalian hukum oleh majelis hakim sebelum memutus perkara. Jadi, hakim tak semata mengandalkan argumen tertulis pemohon dan lembaga yang mengeluarkan peraturan.
Menurut Abdul Fickar, sidang HUM seharusnya menerapkan sungguh-sungguh asas audi et alteram partem, mendengarkan para pihak. Para pihak di sini bukan hanya pemohon dan lembaga yang menerbitkan peraturan, tetapi juga pihak terkait, ahli, dan mungkin saksi.
“Bukan hanya dari ahli sebetulnya, tapi dari pemohon dan termohon itu hakim juga perlu menggali keterangannya. Jadi tidak hanya mengandalkan keterangan tertulis yang disampaikan oleh Pemohon ataupun Termohon”, papar Sholikin.
Pelibatan para pihak juga menjadi keuntungan bagi hakim. Solihin menjelaskan, hakim dapat menggali apa yang menjadi poin permohonan oleh Pemohon. Tak hanya itu, melibatkan ahli tentunya dapat memperluas paradigma berpikir hakim dalam rangka memberikan putusan terbaiknya. “Kalau tidak dibuka ya akuntabilitas proses pemeriksaannya itu menjadi tanda tanya, serta kualitas putusannya juga bisa menjadi tanda tanya”, jelasnya.
Salah seorang pemohon HUM di Mahkamah Agung, Supriadi Widodo Eddyono, juga mendukung keterbukaan sidang HUM. Ia mengaku siap jika sewaktu-waktu sidang permohonan Surat Edaran PK yang dia ajukan mengatasnamakan ICJR dan beberapa organisasi dibuat terbuka. Selama ini, kata dia, sidangnya tak jelas, termasuk kapan ahli dimintai keterangan. ”Kita baru tahu ada di putusan,” ujarnya.
Sumber : www.hukumonline.com
Dirilis pada : Selasa, 21 April 2015
Link: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5533052592d4d/sidang-terbuka-hu…