Berdasarkan survei dalam jajak pendapat Tempo tentang efektivitas menaikkan cukai rokok untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia, disebutkan bahwa dari total 1.341 responden, terdapat 797 orang (59,4%) yang mengatakan setuju bahwa kenaikan cukai rokok mampu mengurangi jumlah perokok di Indonesia, sedangkan 529 orang (39,4%) mengatakan sebaliknya. (Majalah Berita Mingguan Tempo, 5-11 September 2016)
Adanya hasil survei tersebut semakin menunjukkan bahwasanya, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menginginkan adanya penurunan jumlah perokok. Meski tidak dipungkiri menurut data WHO, Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India.
Isu tentang kenaikan harga rokok memang semakin mengemuka dalam beberapa minggu terakhir. Berawal dari survei yang dilakukan pada Desember 2015-Januari 2016 oleh Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara harga rokok dengan kesediaan seseorang untuk berhenti merokok.
Yakni dengan harga Rp50 ribu setiap bungkusnya mampu membuat seseorang mengurungkan niatnya untuk merokok. Perlu apresiasi besar atas adanya penelitian ini dan pastinya perlu tindak lanjut atas hasil penelitian tersebut.
Follow up menjadi penting untuk segera dilaksanakan, mengingat tidak jarang hasil penelitian terhadap suatu isu hanya sebuah wacana yang akhirnya menjadi omong kosong karena tidak ditindaklanjuti menjadi sebuah kebijakan yang berarti.
Tahun 2030 merupakan tahun yang diperkirakan akan ada peningkatan angka kematian perokok di dunia hingga mencapai 10 juta jiwa, dari angka kematian tersebut 70% di antaranya berasal dari negara berkembang.
“Tahun 2030 merupakan tahun yang diperkirakan akan ada peningkatan angka kematian perokok di dunia hingga mencapai 10 juta jiwa”
Dari data tersebut, menurut World Bank jika kecenderungan konsumsi rokok terus berlanjut, sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok, yang setengahnya berusia produktif dan akan kehilangan umur hidup sebesar 20-25 tahun (Pusdatin, Kemenkes).
Selain efek mematikan yang disebabkan dari konsumsi rokok juga terdapat efek memiskinkan karena konsumsi rokok, parahnya kemiskinan tersebut mayoritas dirasakan kaum miskin Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahunnya konsumsi rokok pada rumah tangga termiskin menempati posisi kedua setelah beras, mengalahkan pembelanjaan untuk telur, daging, susu, dan pendidikan anak.
Tingginya konsumsi rokok tersebut, tidak jarang salah satunya disebabkan minimnya edukasi terhadap bahaya rokok. Banyak masyarakat terutama di pedesaan menjadi perokok karena minimnya pengetahuan mereka akan bahaya rokok.
Atas fakta tersebut, seharusnya pemerintah mampu memberikan informasi yang masif dan menyeluruh akan bahaya rokok terutama bagi kalangan menengah kebawah, yang sampai saat ini masih minim informasi yang tidak lain karena minimnya sosialisasi oleh pemerintah tentang adanya bahaya rokok.
Selain kurangnya informasi adanya efek bahaya yang disebabkan oleh konsumsi rokok, masyarakat petani tembakau juga dihadapkan pada kondisi ketidaktahuan akan bahaya tanaman tembakau (yang merupakan bahan utama pembuatan rokok).
Tidak banyak masyarakat tahu bahwa tanaman tembakau merupakan tanaman yang bersifat racun. Petani tembakau yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia tidak banyak menyadari akan bahaya yang dihasilkan dari tanaman tembakau.
Ketidaktahuannya akan bahaya tembakau menjadikan para keluarga petani tidak keberatan menjadikan anak-anak mereka yang di bawah umur ikut menjadi pekerja tembakau. Fakta ini, merupakan hasil penelitian Human Rights Watch di empat provinsi, termasuk tiga provinsi yang menghasilkan hampir 90 persen produksi tembakau Indonesia, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Laporan ini berdasarkan wawancara dengan 227 orang, termasuk 132 buruh anak usia 8 hingga 17 tahun. Sebagian besar dari mereka mulai bekerja sejak usia 12 tahun, sepanjang musim tanam, di lahan-lahan kecil yang diolah oleh keluarga atau tetangga mereka.
Dari mulai isu kenaikan cukai dan harga rokok, serta minimnya pengetahuan masyarakat akan bahaya tanaman tembaku serta bahaya dari konsumsi rokok, terdapat isu yang tidak kalah pentingnya yaitu pencapaian SDGs, yang merupakan komitmen pencapaian 17 tujuan yang telah ditandatangani Indonesia pada September 2015.
Menaikkan harga rokok untuk menurunkan konsumsi rokok penting bagi Indonesia untuk memperkuat komitmen dalam melaksanakan 17 tujuan SDGs. Serta bentuk mewujudkan tujuan kesehatan masyarakat yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwasanya setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Menaikkan harga rokok untuk menurunkan konsumsi rokok penting bagi Indonesia untuk memperkuat komitmen dalam melaksanakan 17 tujuan SDGs”
Dan satu hal yang pasti adalah pentingnya tindak lanjut dari hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentang korelasi antara harga rokok dengan kesediaan seseorang untuk berhenti merokok, serta survei dalam jajak pendapat Tempo tentang efektivitas menaikkan cukai rokok untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Bentuk tindak lanjut dalam hal ini dapat dilakukan dengan dikeluarkanya sebuah kebijakan peraturan perundang-undangan.
============================================================================
Sumber : https://www.selasar.com/
Terbit pada : Senin, 06 September 2016
Tautan online: https://www.selasar.com/politik/kompleksitas-permasalahan-rokok-