Eksekusi hukuman mati gelombang ketiga terhadap para terpidana kasus narkoba segera dilangsungkan di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Kejaksaan Agung dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah sudah sibuk menyiapkan pelaksanaanya. Di Jakarta, kedutaan besar yang warganya akan ikut ditembak mati juga telah menerima pemberitahuan. (Koran Tempo, 26 Juli 2016)
Pelaksanaan eksekusi mati yang akan segera dilaksanakan menimbulkan pertanyaan kembali akan perlunya hukuman mati yang merupakan bentuk hukuman yang kontroversial hingga saat ini. Namun, perlu terus diingat bahwa Indonesia adalah negara yang telah resmi menjadi anggota PBB dan telah mengikatkan diri pada beberapa hukum internasional mulai dari UDHR (Universal Declaration of Human Rights) 1948, ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) 1966 serta Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights in Islam) 1990.
Beberapa hukum internasional tersebut memiliki semangat yang sama terhadap perlindungan hak hidup bagi seluruh umat manusia, artinya perkembangan hukum internasional dalam hal hukuman mati semakin mencerminkan sebuah tren yang sangat jelas yaitu penghapusan hukuman mati. Atas dasar beberapa hukum internasional yang telah mengikat Indonesia, seharusnya menjadi pengingat bagi Indonesia untuk tidak lagi menerapkan hukuman mati.
Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan tindak pidana yang diterapkan secara nasional. Namun, alasan negara tidak boleh diganggu gugat ketika menerapkan hukuman mati tidak bisa diterima, artinya alasan prinsip kedaulatan negara menjadi tidak berlaku dan prinsip intervensi menjadi berlaku ketika ada penerapan hukuman mati. (Rafendi Djamin, Director of Amnesty International South east Asia and The Pasific, wawancara, 20 Mei 2016)
Bentuk hukuman yang tidak bisa dibenarkan
Dalam kaitannya dengan penghapusan hukuman mati, menurut Usman Hamid (aktivis Hak Asasi Manusia dan mantan koordinator Kontras) mengatakan bahwa hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang tidak bisa dibenarkan. Ada beberapa alasan hukuman mati tidak bisa dibenarkan.
Pertama, bentuk hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang menutup perbaikan perilaku seseorang atas apa yang telah diperbuatnya. Kedua, dalam segala sistem penghukuman selalu ada kemungkinan kekeliruan dan kekhilafan dalam menghukum seseorang.
Ketiga, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang kejam, artinya segala bentuk hukuman mati itu semuanya kejam, meskipun berbeda-beda bentuk atau cara melakukan hukuman mati. Keempat, argumen bahwa hukuman mati menimbulkan efek jera tidak terbukti dan saat ini banyak negara yang melakukan moratorium hukuman mati.
Kelima, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang diskriminatif, yang mana hukuman mati seringkali diterapkan kepada masyararakat dengan status sosial yang rendah, karena pelaku tindak pidana tidak bisa menyewa pengacara mahal atau tidak bisa membayar dengan uang yang besar.
Keenam, hukuman mati merupakan alat untuk menebarkan ketakutan politik, biasanya orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap negara, mereka lah pelaku yang dijatuhi hukuman mati.
Ketujuh, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang bertentangan dengan hak hidup. Tanpa hak hidup maka tidak ada manusia, dalam hal ini hak hidup adalah non derogable right.
“Jadi, hukuman mati merupakan hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia”
Jadi, hukuman mati merupakan hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Artinya, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang diberlakukan pada zaman dahulu dan seharusnya tidak terulang pada zaman saat ini.
Bertentangan dengan Hak untuk Hidup
Sedangkan Todung Mulya Lubis (Lawyer dan akademisi hukum hak asasi manusia) mengatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, hal ini karena pengakuan terhadap hak untuk hidup menjadi tidak terlaksana ketika dilaksanakan hukuman mati.
Dalam hal ini, hak untuk hidup seharusnya diterima sebagai hak non derogable karena hak untuk hidup adalah hak yang fundamental, hak yang sifatnya paling supri, hak yang paling tinggi yang mana hak-hak lainya berada di bawah hak untuk hidup, hal ini berarti tidak ada hak-hak lain jika tidak ada hak untuk hidup.
Jadi, ibu hak asasi manusia adalah hak untuk hidup, yang berati jika hak untuk hidup ditiadakan maka hak berserikat, berkumpul, berpendapat menjadi meaningless (tidak berarti sama sekali).
Memang sampai saat ini, masih terdapat perdebatan terkait hak untuk hidup, yang pasti hak untuk hidup adalah hak yang berlaku untuk semua makhluk, artinya para pelaku kejahatan tidak boleh merampas atau menghilangkan nyawa orang lain.
“Memang sampai saat ini, masih terdapat perdebatan terkait hak untuk hidup, yang pasti hak untuk hidup adalah hak yang berlaku untuk semua makhluk, artinya para pelaku kejahatan tidak boleh merampas atau menghilangkan nyawa orang lain”
Bahwa jika ada pelaku kejahatan, harus dilihat pelaku kejahatan juga manusia bukan negara, tidak diikat seperti negara, selain itu manusia juga harus dilihat sebagai produk dari manusia sendiri, produk dari ketidakadilan dan produk dari perasaan terasingkan.
Para pelaku tindak pidana yang dijatuhi hukuman mati tidak lebih dari sebuah korban dari keadaan hidup sehingga mereka melakukan kejahatan. Jadi, para pelaku kejahatan perlu dihukum seberat-beratnya namun negara tidak boleh menghukum mati, karena tugas negara adalah menjaga manusia.
Yang menjadi masalah saat ini adalah masih adanya prejudice baik dari kalangan media, masyarakat, jaksa maupun hakim, yang menganggap para pelaku kejahatan yang dijatuhi hukuman mati adalah sampah. Atas keadaan tersebut, seharusnya hukuman mati tidak diterapkan dalam gelombang eksekusi hukuman mati yang akan dilaksanakan mendatang.
============================================================================
Sumber : https://www.selasar.com/
Terbit pada : Senin, 15 Agustus 2016
Tautan online: https://www.selasar.com/politik/masih-perlukah-hukuman-mati