Bimo Prasetio, seorang advokat, mengungkapkan bahwa keharusan para pihak yang bersengketa untuk hadir dalam persidangan perkara gugatan sederhana cukup efektif.
Bimo sebagai pimpinan salah satu kantor konsultan hukum di Jakarta Selatan memiliki sengketa yang nilainya terhitung kecil untuk skala Jakarta. Mengetahui Mahkamah Agung mengeluarkan pengaturan baru, yakni gugatan sederhana, Bimo mencoba mendaftarkan perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tidak sampai 25 hari setelah sidang pertama, perkara itu selesai dengan mudah, murah, dan mengikat secara hukum.
Namun, gaung keberadaan gugatan sederhana belum meluas ke penjuru negeri. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, sampai akhir Juni 2016, terdapat 273 perkara yang didaftarkan melalui mekanisme gugatan sederhana. Angka itu masih minim mengingat Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 (Perma) tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana telah diundangkan sejak 7 Agustus 2015.
Keberadaan Perma tersebut untuk menjawab proses peradilan perdata yang tidak dapat dikatakan efektif, cepat, dan terjangkau. Tidak seperti peradilan pidana yang mengenal acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat untuk jenis perkara tertentu, peradilan perdata yang mengacu pada Het Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesten (RBg) tidak memiliki mekanisme yang dianggap mudah untuk penyelesaian sengketa yang sederhana.
Kondisi tersebut berdampak pada minimnya jumlah perkara perdata yang masuk. Dari sejumlah 3.466.006 perkara yang masuk di pengadilan tingkat pertama, hanya terdapat 39.279 gugatan yang diajukan atau sekitar 1.13% dari keseluruhan perkara yang ditangani oleh pengadilan tingkat pertama (Laporan Tahunan MA, 2015). Jika dibandingkan dengan jumlah Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebanyak 57,9 juta yang berpotensi memiliki sengketa, rasio jumlah perkara 0,067% sangatlah kecil. Kondisi tersebut dijawab MA dengan membentuk mekanisme gugatan sederhana yang diatur dalam sebuah Peraturan Mahkamah Agung (Perma).
Perma itu mengatur hukum acara, yang seharusnya diatur di dalam undang-undang. Upaya pengaturan gugatan sederhana di dalam rancangan undang-undang pernah tercetus namun tidak berlanjut. Pada 2012-2013, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM melakukan serangkaian sosialisasi dan diskusi terkait perlunya pengaturan small claims court di dalam RUU Hukum Acara Perdata.
Namun, diskusi tidak berlanjut karena DPR dan pemerintah tidak memprioritaskan RUU Hukum Acara Perdata di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Sementara itu, kebutuhan pencari keadilan untuk mengakses peradilan yang cepat, mudah, dan berbiaya ringan tidak dapat dipenuhi oleh hukum acara perdata yang berlaku.
Mendasarkan kewenangannya mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi penyelenggaraan peradilan jika terdapat hal yang belum cukup diatur dalam UU, MA membentuk Perma Gugatan Sederhana. Perma ini dianggap dapat menjawab kebutuhan pencari keadilan atas peradilan yang cepat, mudah, dan biaya ringan.
Gugatan Sederhana dan Pembaruan Peradilan
Gugatan sederhana yang diatur di dalam Perma Gugatan Sederhana merupakan implementasi salah satu agenda pembaruan peradilan yang tercantum dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, yakni, penyederhanaan proses berperkara. Prosedur semacam gugatan sederhana terlebih dulu dipraktikkan di negara-negara lain dengan sebutan small claims court.
Keberadaan small claims court sebagai agenda pembaruan peradilan juga terjadi di Filipina. Sejak 1999, Ketua Mahkamah Agung Filipina, Reynato Puno telah mengajukan wacana keberadaan mekanisme small claims court untuk perkara sederhana bernilai kecil. Permintaan itu dikaji sehingga menjadi bahan yang diadvokasikan dalam tataran legislatif sehingga menjadi RUU Senat No. 800 berjudul “Philippine Small Claims Court Act” (Glenda Feliprada, 2014).
Namun karena situasi politik belum mendukung, pengaturan small claims court di Filipina diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung tentang “Rule of Procedure for Small Claims Cases.” Alasan utama pengadopsian small claims court adalah untuk menjamin hak-hak dasar warga negara Filipina dan memberikan keadilan bagi pelanggaran yang terjadi.
Sebagaimana perbedaan sistem hukum dan dinamika masyarakat, pengaturan small claims courtbervariasi antara satu negara dengan yang lain. Namun, terdapat karakteristik yang mirip, yakni terdapat pembatasan jenis dan nilai perkara yang dapat diajukan dalam small claims courtsehingga akses keadilan dapat tercapai.
Gugatan sederhana mengatur pembatasan, antara lain perkara yang nilainya tidak lebih dari dua ratus juta rupiah; bukan sengketa hak atas tanah dan perkara lain yang memiliki pengadilan khusus; serta penggugat dan tergugat, masing-masing tidak lebih dari satu dan berada dalam satu domisili. Jika persyaratan perkara itu terpenuhi, maka dapat diajukan ke dalam gugatan sederhana untuk diselesaikan dalam jangka waktu 25 hari kerja setelah sidang pertama, tanpa harus menggunakan jasa advokat.
Pengaturan tersebut merupakan terobosan besar dalam hukum acara perdata di Indonesia. Namun, bukan berarti pengaturannya jauh dari kritik. Pembatasan domisili yang sama antara para pihak dalam gugatan sederhana merupakan hal yang paling banyak dikeluhkan oleh para pencari keadilan. Katakanlah anda berdomisili di Kabupaten Bogor memiliki perkara utang piutang dengan seseorang yang berdomisili di Kota Depok, tidak dapat mengajukan gugatan sederhana.
Dalam satu kesempatan diskusi publik, Hakim Agung Syamsul Maarif mengungkapkan bahwa jika domisilinya berbeda, Penggugat dapat menggunakan jasa advokat yang berada pada domisili yang sama dengan Tergugat. Hal ini tidak menyalahi pengaturan yang ada di dalam Perma.
Namun demikian, harapan kesederhanaan berperkara yang bisa dilakukan tanpa advokat menjadi tidak tercapai. Pembentuk kebijakan, dalam hal ini MA, patut meninjau kembali pengaturan gugatan sederhana sehingga tujuan agar peradilan yang cepat, mudah, dan biaya ringan dapat tercapai.
============================================================================
Sumber : https://www.selasar.com/politik/memangkas-kerumitan-peradilan-perdata
Terbit pada : Rabu, 22 Juli 2016