Terlepas dari sikap hati-hati yang dipenuhi hakim, kekeliruan atau kesalahan tetap dapat terjadi, dan kesempatan untuk mengajukan keberatan atas kesalahan tersebut harus tetap dibuka.
Prinsip finalitas terefleksikan dengan baik oleh maksim litis finiri oportet. Bahwa proses yudisial harus mencapai titik akhir, dan putusan pengadilan harus dilindungi untuk tidak diuji kembali oleh lembaga peradilan yang sama atau lembaga peradilan lain.
Keinginan agar putusan pengadilan menuntaskan sengketa hukum dikenal di berbagai sistem hukum kontemporer. Teori mengenai finalitas proses dan putusan peradilan diletakkan di atas dua dasar, yaitu kebijakan publik dan keadilan individual.
Di sisi kebijakan publik, pemerintah memiliki kepentingan kuat terhadap finalitas. Prinsip negara hukum menuntut bahwa ketika negara telah memulai suatu proses peradilan, maka ia akan menghormati keluarannya (Klip & Van Der Wilt, 2002). Jika putusan pengadilan tidak dihormati dan dianggap final, legitimasi negara akan jatuh.
Sementara di sisi keadilan individual, seseorang tidak dapat didakwa kembali atas perbuatan yang sama ketika sudah dinyatakan bersalah atau dibebaskan. Begitu pun seseorang tidak boleh digugat kembali atas sengketa perdata yang telah diputus pengadilan dengan putusan final (Jacob, 1970).
Ada beberapa doktrin mengenai finalitas yang berkembang, baik di wilayah hukum perdata maupun pidana. Doktrin yang paling mengemuka adalah res judicata, yang dikenal sebagai doktrin hukum perdata. Doktrin lain adalah ne bis in idem, sebuah konsep dalam hukum pidana yang sebanding dengan doktrin double jeopardy di negara common law.
Tujuan dari doktrin res judicata adalah melindungi finalitas putusan pengadilan dan menghindarkan sumber daya peradilan terbuang sia-sia dengan mencegah litigasi ulang atas tuntutan dan isu hukum, yang seharusnya sudah ditetapkan dalam sebuah putusan (Plumer, 1986). Res judicata juga melindungi keadilan individual seorang tergugat dari peluang dilecehkan secara hukum (Moschzisker, 1929).
Adapun esensi dari doktrin ne bis in idem adalah larangan dakwaan ulang terhadap suatu putusan bersalah atau putusan bebas di perkara pidana. Bahkan di negara yang lemah perlindungannya terhadap hak-hak individu sekalipun, aturan yang melarang pemerintah mendakwa ulang seseorang yang telah diputus bebas sangat dijamin (Levmore & Porat, 2011). Tanpa doktrin ne bis in idem, pemerintah dapat melakukan tuntutan berkali-kali terhadap warganya hingga memenangkan perkara.
Falibilitas proses dan putusan pengadilan
Namun terlepas dari pentingnya finalitas, putusan yang dibuat manusia dinilai pasti mengandung kelemahan, bisa jadi salah atau ada dalam situasi falibilitas. Salah satu aspek dari falibilitas putusan manusia adalah bahwa kita kadang hanya mampu mengambil sebagian dari informasi yang relevan dengan putusan, dari data mentah yang tersedia secara terbatas. Aspek lain adalah “bias” yang kita miliki yang kadang tidak tampak oleh mata kita sendiri bahkan orang lain (Sah, 1991).
Tidak ada institusi bentukan manusia yang bebas dari kesalahan. Lembaga yang berwenang menyelenggarakan peradilan pun dapat melanggar hukum (Abbot, 1916). Bahkan di peradilan tertinggi kekeliruan bisa terjadi, meski putusannya sering secara ambigu dianggap kedap kesalahan dan dekat dengan kesempurnaan.
Penjelasan atas ambiguitas itu bukan pada atribut para hakim tertinggi sebagai otak hukum terbaik (perfect legal minds), tetapi lebih karena perkara di level peradilan tertinggi telah menyerap waktu litigasi yang substansial (Craighead, 2003). Untuk menerima fakta bahwa bahkan hakim di pengadilan tertinggi pun bisa menyalahi hukum tidak berarti mempertanyakan kehormatan, kepandaian, atau efisiensi mereka, namun mengakui fakta yang sulit diperdebatkan bahwa berbuat salah itu manusiawi (Abbot, 1916).
Peninjauan Kembali
Karena itu sangat melegakan untuk tahu bahwa masa dimana hakim punya diskresi penuh dalam mengeluarkan putusan yang tidak bisa diganggu gugat telah berlalu. Untuk menjamin akurasi putusan, pengadilan banding dibentuk, sehingga tidak ada lagi hakim atau pengadilan yang bekerja sendiri dan tidak dikontrol (Bator, 1963). Sebab terlepas dari sikap hati-hati yang dipenuhi hakim, kekeliruan atau kesalahan tetap dapat terjadi, dan kesempatan untuk mengajukan keberatan atas kesalahan tersebut harus tetap dibuka.
Secara prinsip, sebenarnya putusan sudah dapat diterima secara sosial dengan terpenuhinya upaya hukum biasa atau terlampauinya waktu untuk mengajukannya. Namun pembentuk hukum akan merasa perlu memastikan bahwa putusan yang telah final sekalipun masih bisa dikoreksi dengan persyaratan yang ketat dan hanya untuk alasan luar biasa. Untuk itulah upaya hukum luar biasa, dalam hal ini peninjauan kembali (PK), diatur.
Terdapat beberapa argumen yang membela keberadaan mekanisme PK, untuk mengakomodasi kekhawatiran akan falibilitas proses dan putusan peradilan. Argumen pertama, sebagaimana disebut di atas, adalah memperbaiki kesalahan guna melindungi pencari keadilan dari terampasnya harta benda (perdata) serta nyawa dan kemerdekaan (pidana) secara salah (Robertson, 2012).
Argumen kedua adalah memulihkan kepercayaan publik pada pengadilan yang hanya bisa dicapai ketika setiap potensi peradilan sesat bisa ditinjau kembali. Terlalu besar biaya sosial yang harus ditanggung ketika muncul protes lantaran ada peradilan sesat yang tidak diluruskan (Malleson, 1994).
Argumen ketiga, pemeriksaan ulang atas suatu perkara bertahun-tahun setelah putusannya berkekuatan hukum tetap, dapat meningkatkan akurasi. Dengan peninjauan kembali, pengadilan tidak hanya melihat fakta yang melingkupi suatu perkara secara retrospektif, namun juga informasi terkini dari suatu perkara secara prospektif (Scott, 2014). Adapun argumen terakhir adalah kepentingan pengadilan secara kelembagaan untuk menjaga konsistensi penerapan hukum yang dapat dilakukan melalui PK (Malleson, 1994).
Dari sudut pandang finalitas, terdapat pula argumen yang menentang keberadaan PK. Argumen pertama, PK dianggap mahal dan tidak efisien (Berman, 2014). Pemeriksaan perkara melibatkan investasi uang dan waktu yang harus ditanggung sebagian atau seluruhnya oleh publik (Scott, 2014). Pengadilan pun tidak dapat berlama-lama dengan suatu perkara, sebab perkara lain sudah berbaris dalam antrian dan penyelesaiannya akan tertunda (Van Dijk, 2014).
Argumen kedua, karena PK biasanya dilakukan lama setelah suatu putusan dianggap final, prosesnya akan membuahkan hasil yang kurang akurat. PK, karena faktor waktu, juga tidak bisa lagi dipandang sebagai pelindung kepentingan pencari keadilan dengan beberapa alasan. Pertama, putusannya sering datang terlambat untuk menolong pencari keadilan, dan kedua, biasanya dia tidak dapat menunda eksekusi putusan final (Rossman, 1990).
Argumen terakhir, PK dianggap dapat mengancam reputasi sistem peradilan. Sering muncul kecurigaan, bahwa PK (apalagi oleh Jaksa) bisa disalahgunakan pemerintah untuk membatasi kemerdekaan mereka yang telah diputus bebas di suatu perkara pidana (Rossman, 1990). John Marshall pernah menyatakan, tidak seorang pun, atau sistem hukum, atau masyarakat, yang bisa ambil manfaat dari litigasi ulang atas persoalan hukum yang sesungguhnya telah diselesaikan (Scott, 2014).
Konteks Indonesia
Pertanyaan menggelitik dari berbagai uraian di atas adalah, apakah kita di Indonesia telah melakukan perdebatan setara? Apakah kita sudah mengindahkan berbagai prinsip dan doktrin hukum yang ada, menimbang-nimbang antara finalitas dan falibilitas, serta antara kebijakan publik dan keadilan individual saat melembagakan PK dalam sistem hukum kita?
Sebagaimana kita tahu, pada awal 2014 Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan Putusan yang membatalkan ketentuan KUHAP yang membatasi PK hanya dapat diajukan satu kali. Untuk meresponnya, Mahkamah Agung (MA) kemudian mengeluarkan edaran yang pada intinya tidak mengindahkan Putusan MK tersebut.
Reaksi lanjutan pun muncul, yaitu dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM yang bertekad memperjelas situasi dengan menggodok draf peraturan pemerintah tentang PK. Ketiga dinamika paling akhir mengenai PK tersebut merupakan kelanjutan dari kontroversi panjang sebelumnya, antara lain tentang: PK terhadap putusan PK; PK oleh jaksa; hingga PK oleh terpidana yang buron.
Lalu muncul pertanyaan di level praktis. Apakah berbagai pertimbangan terhadap prinsip dan doktrin di atas juga muncul saat para pencari keadilan dan kuasa hukumnya, termasuk jaksa, mengajukan rata-rata 2,500 permohonan PK di semua perkara setiap tahun ke MA guna membela kepentingan hukum mereka?
*PhD candidate pada Tilburg University Law School, Belanda/Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
===========================================================================
Sumber : http://www.hukumonline.com
Terbit pada :Selasa, 22 Maret 2016
Tautan online: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56f0b268bc9b7/perdebatan-…