Diam-diam dan secara mengejutkan Kementerian Perhubungan menerbitkan peraturan mengenai transportasi onlineatau transportasi berbasis aplikasi melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. PM 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Peraturan yang dirilis pada 20 April 2016 lalu ternyata telah ditetapkan pada 28 Maret 2016 dan diundangkan pada 1 April 2016. Peraturan yang menggantikan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 35/003 tentang Penyelenggaran Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum ini pun akan berlaku 6 (enam) bulan kemudian setelah pengundangan.
Dengan melihat tanggal penetapan di atas dan tanggal kesepakatan antara pemerintah, perusahaan angkutan umum, dan perusahaan aplikasi (tripartit) pada 25 Maret 2016 lalu, terdapat kemungkinan bahwa peraturan itu telah final sebelum atau ketika kesepakatan tercapai dan hanya tinggal ditandatangani pada 28 Maret 2016. Atau, jikapun peraturan tersebut dibuat pasca kesepakatan tadi, maka hampir dipastikan peraturan ini dibuat dengan tergesa-gesa.
Dengan melihat jumlah 55 pasal yang dimuat dalam Permenhub No. PM 32/2016, proses pembahasan peraturan ini rasanya hampir mustahil dilakukan dalam waktu yang singkat. Kemungkinan,pembahasan sudah berjalan sejak beberapa waktu lalu. Sayangnya, di tengah polemik soal keberadaan transportasi berbasis aplikasi ini, konsultasi publik perancangan peraturan ini dan khususnya mengenai isu transportasi berbasis aplikasi terbilang minim. Peraturan ini pun malah dirilis ke publik hampir sebulan setelah penetapan dan pengundangannya.
Meskipun peraturan tingkat menteri secara umum bersifat menjalankan peraturan di atasnya yaitu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, pengaturan hal-hal yang sifatnya baru dan diserahkan kepada kementerian yang berpotensi menimbulkan polemik semestinya dikonsultasikan terlebih dulu kepada khalayak umum atau publik. Akses terhadap perancangan tersebut haruslah ada sebagai sarana untuk memberikan masukan pengaturan. Hal inibisa kita tangkap darimakna Pasal 96 ayat (4) UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Karakter transportasi berbasis aplikasi adalah kombinasi karakter angkutan taksi dan angkutan sewa. Tarif transportasi ini dapat ditentukan berdasarkan jarak (meter atau kilometer) namun kendaraan yang digunakan adalah kendaraan berplat hitam atau kendaraan pribadi.
Tarif dan rekrutmen serta penggunaan kendaraan pribadi memang menjadi isu sentral ketika polemik ini terjadi. Dalam Permenhub ini, terdapat larangan bagi perusahaan aplikasi untuk menentukan tarif dan melakukan perekrutan pengemudi (Pasal 41 ayat 3). Meski begitu, Permenhub No. PM 32/2016 memberikan solusi penentuan tarif dan rekrutmen dengan mewajibkan perusahaan aplikasi untuk menjadi perusahaan angkutan umum jika ingin menentukan tarif dan melakukan rekrutmen pengemudi.
Dengan melihat karakteristik Uber, GrabCar, GoCar, dan sebagainya yang mirip dengan angkutan sewa dari aspek pemanfaatan kendaraan, maka pemenuhan kebutuhan soal penentuan tarif dan rekrutmen dapatlah dipenuhi oleh perusahaan aplikasi yang memperoleh izin angkutan orang melalui “kesepakatan” antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b dimana tarif ditentukan sesuai dengan perjanjian antara pengguna jasa (konsumen) dan perusahaan angkutan.
Kesepakatan disini bisa saja kesepakatan harga yang telah ditentukan perusahaan angkutan umum yang bersifat “take it or leave it” (ambil atau tinggalkan) bagi konsumen. Pada akhirnya, selera konsumenlah yang menentukan perusahaan angkutan umum mana yang hendak dimanfaatkan jasanya. Hal yang sama bisa berlaku juga bagi mitra pengemudi terhadap perusahaan angkutan umum terkait dengan tarif atau harga yang ditentukan oleh perusahaan yang bersangkutan. Bagi konsumen, tarif murah dan pelayanan bagus tentunya lebih diminati. Semetara bagi mitra pengemudi, tarif kompetitif dan sikap apresiatif perusahaan seperti iming-iming bonus tentunya lebih diminati daripada jumlah setoran besar yang ditargetkan perusahaan.
Substansi peraturan yang disorot
Dalam kaitan ini, substansi pengaturan dari Permenhub No. PM 32/2016 yang perlu mendapat sorotan adalah soal kewajiban mempunyai kendaraan atas nama perusahaan danbukan soal penentuan tarif angkutan ataupun rekrutmen pengemudi.
Sebagai perusahaan angkutan umum, syarat sebagai badan hukum, minimal limakendaraan atas nama perusahaan, lulus uji berkala, kepemilikan pul dan bengkel, dan pengemudi yang harus memiliki surat izin mengemudi (SIM)wajib dipenuhi oleh perusahaan angkutan umum (Pasal 23). Syarat ini relatif mudah dapat dipenuhi oleh setiap perusahaan angkutan umum termasuk perusahaan aplikasi transportasi yang bermetamorfosis sebagai perusahaan angkutan umum.
Namun, syarat kepemilikan kendaraan atas nama perusahaan dapat menjadi tembok penghalang bagi berlakunya konsep shared economy yang sudah dipraktekan oleh Uber, Grabcar, Go Car, dan kawan-kawan di Indonesia. Ini sama saja kembali menegaskan bahwa kendaraan atas nama pribadi pengemudi mitra tidak boleh dijadikan angkutan umum. Perusahaan-perusahaan tadi yang menggunakan kendaraan pribadi atas nama pengemudi mitranya untuk menjalankan usahanya bisa dianggap melakukan perbuatan ilegal.
Padahal, disinilah sebetulnya implementasi praktek shared economy yang membuka peluang bagi setiap orang(termasuk angkatan kerja yang tidak mempunyai pekerjaan) untuk menikmati bagian hasil dari sebuah sektor ekonomi secara langsung. Keberadaan ketentuan tadi malah menjadi antiklimaks atas praktek shared economy yang sudah berjalan dengan baik dan minim masalah di lapangan.
Perusahaan tidak dapat memanfaatkan kendaraan pengemudi mitranya untuk memberikan jasanya kepada konsumen. Sebaliknya, pengemudi mitra kehilangan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan dari kendaraan yang dimilikinya.Sangat disesalkan, hal ini malah tidak terakomodasi dalam Permenhub No. PM 32/2016.Situasi ini berpotensi menghambat dan menurunkan aktivitas perekonomian yang berkembang dari sektor transportasi. Dalam hal ini, pengaturan transportasi angkutan orang kita sama saja berjalan di tempat. Tidak ada terobosan luar biasa dari peraturan ini.
Di negara lain seperti di kota Edmonton Kanada dan di Filipina, transportasi berbasis aplikasi atau onlinejustru memanfaatkan kendaraan pribadi. Transportasi ini masuk dalam kategori kelas baru yaitu penyedia transportasi privat (Priviate Transportation Provider-PTP) di Edmonton dan the Transportation Network Vehicle Service (TNVS) di Filipina. Mekanisme, syarat, dan biaya perizinannya pun berbeda dan terpisah dari taksi. Di Canberra, transportasi berbasis aplikasi masuk kategori transportasi Hire Car. Di ibukota Australia ini, bahkan setiap calon pengemudi mesti memenuhi persyaratan akreditasi dimana salah satunya adalah tidak memiliki rekam jejak kriminal, selain memenuhi syarat terkait kewarganegaraan Australia, izin berkendara, dan mengikuti tes penilaian (assessment).
Proses mempengaruhi Substansi
Idealnya, penyusunan sebuah peraturan bersifat transparan terutama jika terdapat isu publik di dalam rancangannya. Baik atau tidaknya dan transparan atau tidaknya proses bisa mempengaruhi baik atau buruknya substansi pengaturan. Proses yang baik saja tidak menjamin kesempurnaan materi muatan pengaturan, terlebih lagi proses yang kurang baik dan tidak transparan. Itulah yang sesungguhnya yang bisa dipersepsikan dari Pemenhub No. PM 32/2016. Substansi Permenhub ini transportasi berbasis aplikasi seharusnya disempurnakan lagi melalui proses pembentukan peraturan yang mengakomodir kepentingan yang lebih luas.
Hal yang Perlu Diatur
Hal yang masih belum terakomodasi dan perlu diatur dalam Permenhub sehubungan dengan eksistensi transportasi online ini adalah kerjasama kemitraan, tanggung jawab perusahaan angkutan umum aplikasi, tanggung jawab perusahaan angkutan konvensional, tanggung jawab pengemudi, perlindungan pengemudi dan kendaraannya, dan perlindungan konsumen.
Pertama, soal kerjasama kemitraan antara perusahaan aplikasi dan perusahaan angkutan umum taksi dan sewa. Ini belum ada pengaturannya dalam Permenhub No. PM 32/2006. Selain itu, hubungan hukum antara perusahaan angkutan umum aplikasi dan individu pengemudi pun belum ada juga. Bahkan, penyediaan jasa melalui individu perorangan tidaklah diakui secara legal. Praktik yang hadir sebelum polemik ini terjadi adalah kerjasama antara perusahaan aplikasi transportasi dan perusahaan angkutan taksi serta antara adanya hubungan kemitraan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi penyedia jasa angkutan. Tentu saja, hubungan kerjasama dan kemitraan perlu diatur yang setidaknya meliputi model kemitraan yang adil, pembagian hasil atau pengupahan, serta hak dan kewajiban masing-masing perusahaan angkutan umum aplikasi, perusahaan aplikasi, perusahaan angkutan umum, dan perorangan penyedia jasa angkutan umum.
Kedua, tanggung jawab perusahaan angkutan umum aplikasi. Hal ini khususnya terhadap perorangan pengemudi penyedia jasa dan konsumen. Tanggung jawab tersebut adalah berupa penyimpanan dan merahasiakan data pribadi, perlindungan mitra dan konsumen dari kecelakaan, dan khusus untuk kendaraan pengemudi adalah perlindungan kendaraannya itu sendiri, pembentukan unit aduan layanan keluhan serta pemberian ganti rugi akibat kesalahan perusahaan perusahaan angkutan umum aplikasi.
Ketiga, perlindungan pengemudi dan kendaraannya serta konsumen. Hal ini terkait dengan kendaraan plat hitam yang dimiliki dan digunakan oleh penyedia jasa dalam mengangkut konsumen. Bagi pengemudi dan kendaraan serta konsumen, perlindungan yang mesti diatur dan diberikan adalah perlindungan terkait dengan kerahasiaan data pribadi mitra dan konsumen; transaksi dan pengupahan; moral hazard perusahaan misalnya penawaran yang mengganggu, penagihan yang tidak wajar, atau gangguan privacy; perlindungan dari kecelakaan dan atau kerusuhan.
============================================================================
Sumber : http://rechtsvinding.bphn.go.id/
Terbit pada : Selasa, 10 Mei 2016
Tautan online: http://rechtsvinding.bphn.go.id/view/view_online.php?id=203