Pembenahan hukum sampai dengan saat ini belum menunjukkan perubahan yang sangat berarti dan menyentuh pada persoalan dasar dalam penegakan hukum.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) melihat sepanjang tahun 2018 pembenahan dan penegakan hukum di Indonesia masih berjalan lambat. Hal ini terlihat dari masih ada ancaman terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dialami internal pegawai KPK hingga ahli yang digugat terpidana korupsi karena memberi keterangan keahliannya terkait kasus korupsi. Tentu hal ini mengganggu independensi akademisi dan upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi.
Di internal KPK sendiri, kata Direktur Riset dan Inovasi PSHK Rizky Argama, terlihat dengan adanya mutasi dan promosi yang diprotes oleh wadah pegawai KPK dan tidak adanya kemajuan dalam penanganan kasus Novel Baswedan. Kelambanan penanganan kasus ini menjadi kritik keras bagi Kepolisian dan Pesiden.
“Komnas HAM telah menyerahkan laporan pemeriksaan kasus Novel Baswedan dan merekomendasikan kepada pimpinan KPK untuk melakukan langkah hukum dan memberikan perlindungan bagi pegawai KPK,” kata pria yang disapa Gama dalam siaran persnya, Rabu (26/12).
Pembiaran terhadap lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian juga tidak mendapat perhatian serius pemerintah. Kasus penghapusan barang bukti, yang dikenal dengan “buku merah”, menjadi salah satu indikasi permasalahan penegakan hukum. Tidak jauh berbeda dengan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang hingga hari ini tidak jelas pengungkapannya. Meski begitu, penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK sepanjang 2018, patut diacungi jempol. Selain penanganan kasus kakap, pada tahun yang sama KPK melakukan operasi tangkap tangan terbanyak yakni dengan 29 kasus.
Di wilayah peradilan, lanjut Gama, awal 2018 diwarnai dengan desakan mundur Arif Hidayat yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) karena diduga melakukan pelanggaran etik dengan bertemu pimpinan Komisi III DPR dalam rangka meminta dukungan dipilih kembali sebagai sebagai hakim MK. Kasus lainnya adalah persinggungan klasik antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial yang dipicu oleh pernyataan juru bicara Komisi Yudisial ketika menanggapi permasalahan terkait dengan iuran turnamen tenis di lingkungan pengadilan yang digelar oleh Persatuan Tenis Warga Peradilan (PTWP).
Di bidang legislasi, kinerja DPR maupun pemerintah tidak memiliki capaian yang signifikan. Permasalahannya bukan hanya jumlah capaian, namun konsistensi dengan perencanaan. Dari 50 RUU yang menjadi prioritas tahun 2018 hanya lima RUU yang dihasilkan. Pada 2019 yang merupakan periode akhir keanggotaan DPR 2014-2019, prioritas tahunan justru bertambah menjadi 55 RUU.
Lemahnya perencanaan legislasi ini juga muncul dalam program penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) untuk tahun 2018. Pada 2018, pemerintah merencanakan membentuk 43 PP. Nyatanya hanya 3 PP yang berhasil disusun. Sementara itu, terdapat 45 PP yang disusun di luar yang sudah direncanakan. Sedangkan terkait Perpres, pada 2018 pemerintah merencanakan membentuk 30 Perpres. Namun dari rencana tersebut hanya 3 Perpres yang berhasil dibentuk. Di saat yang bersamaan, pemerintah menyusun 124 Perpres di luar perencanaan.
“Tidak sinkronnya perencanaan di tingkat undang-undang maupun peraturan pemerintah dan peraturan presiden menunjukkan lemahnya sistem perencanaan legislasi,” katanya.
Sejumlah inisiatif penataan regulasi, kata Gama, perlu dilanjutkan secara sistematis dan berkesinambungan dengan pembenahan secara menyeluruh terhadap sistem peraturan perundang-undangan. Seperti, deregulasi perizinan, pelaksanaan mekanisme ajudikasi dan analisis evaluasi peraturan perundang-undangan hingga program Strategi Nasional Reformasi Regulasi.
“Pembenahan hukum sampai dengan saat ini belum menunjukkan perubahan yang sangat berarti dan menyentuh pada persoalan dasar dalam penegakan hukum,” kata Gama.
Sebelumnya, meski sudah mengagendakan sepekan sekali pada hari Kamis di semua komisi dan Baleg menjadi hari pembahasan legislasi, Ketua DPR Bambang Soesatyo menerangkan, banyak faktor target Prolegnas tak tercapai. Salah satunya lantaran lemahnya komitmen antara DPR dan pemerintah dalam upaya menyelesaikan RUU. Baginya, efektivitas pembahasan setiap RUU amat tergantung keseriusan dan kesungguhan DPR dan pemerintah agar tidak berlarut-larut.
Prioritas 2019
Tahun 2019, Gama mengatakan, penegakan dan pembenahan hukum akan berada dalam situasi yang lebih berat. Pelaksanaan pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden akan menjadi situasi penting yang perlu mendapat perhatian. Agenda rutin lima tahunan ini akan banyak berpengaruh terhadap kinerja legislatif maupun eksekutif.
Atas hal itu, PSHK memberikan catatan prioritas program hukum bidang legislasi dan peradilan tahun 2019. Pertama, penataan fungsi dan kelembagaan untuk perbaikan kualitas peraturan perundang-undangan. Hal ini harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan, sehingga rendahnya kualitas peraturan perundang-undangan tak kembali terjadi.
Kedua, perumusan ulang perencanaan peraturan perundang-undangan. PSHK berharap DPR dan dan pemerintah merumuskan kembali konsep perencanaan peraturan perundang-undangan. Ketiga, monitoring dan evaluasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Simplifikasi/penyederhanaan peraturan perundang-undangan yang telah dijalankan di sektor ekonomi pada tahun ini perlu dilanjutkan dengan monitoring dan evaluasi peraturan perundangundangan pada sektor-sektor prioritas lainnya.
Keempat, penyelesaian RUU prioritas dan penting. DPR dan pemerintah perlu menentukan kembali RUU yang paling mendesak dan perlu diselesaikan pada 2019. Dasar penentuannya adalah mengutamakan RUU yang materi muatannya memberi manfaat besar bagi masyarakat dan mengejar penyelesaian RUU yang hampir selesai. Kelima, penegakan etik dan disiplin anggota parlemen di tahun politik. Mahkamah Kehormatan DPR harus serius dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan etika dan disiplin anggota parlemen.
Keenam, penegakan hukum pelaksanaan pemilihan umum. Masa depan demokrasi Indonesia turut ditentukan oleh Pemilu 2019. Oleh karena itu, agenda Pemilu 2019 perlu dikawal dengan upaya penegakan hukum secara akuntabel, transparan dan imparsial. Bawaslu dan Kepolisian harus mampu bekerja secara profesional dan independen untuk mewujudkan hasil pemilu yang berkualitas.
Ketujuh, pengawalan pemilihan pimpinan KPK periode 2019-2023. Upaya pelemahan KPK sering dilakukan oleh sejumlah pihak melalui berbagai upaya intervensi. Agenda pergantian pimpinan KPK dipastikan akan menjadi ajang untuk melemahkan KPK. Oleh karena itu, diperlukan konsolidasi publik untuk mengawal proses seleksi pimpinan KPK. Kedelapan, reformasi institusi penegak hukum. Reformasi tersebut bisa dimulai dari transparansi, akuntabilitas dan independensi dalam proses penegakan hukum baik di kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan.
Sumber:
Media: hukumonline.com
Tanggal: 27 Desember 2018