Tidak dapat dielakkan bahwa proses pembentukan kebijakan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan apakah produk akhir berupa peraturan perundang-undangan akan mampu membawa manfaat dan mencapai tujuan diundangkannya peraturan tersebut.
Sudah cukup banyak fakta empirik mengenai dampak yang ditimbulkan dari kebijakan yang prosesnya tidak paripurna sehingga yang timbul adalah peraturan yang “salah sasaran” atau tidak memberikan solusi yang seharusnya. Hal ini akan makin terasa pada tingkat Peraturan Daerah (Perda). Contoh konkrit yang kemudian menjadi kasus di pengadilan adalah Perda Kota Tangerang mengenai pelarangan pelacuran. Perda ini bukannya memberikan kepastian, justru menimbulkan masalah sosial baru karena peraturan itu diskriminatif ketika diterapkan karena prosesnya tidak partisipatif, pengaturannya tidak dibuat secara cermat, dan dampak pengaturan tidak diperhitungkan terlebih dulu.
Itulah sebagian alasan, mengapa PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) terus secara konsisten memfokuskan diri dalam mendorong perbaikan proses legislasi. Sebagai suatu produk hukum yang mengikat umum, maka penting dipastikan bahwa seluruh produk legislasi dibentuk dengan kerangka pikir “pembentukan undang-undang yang bertanggung jawab secara sosial” (socially responsible law-making). Dalam konsep ini, paling tidak ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, proses yang terbuka untuk memastikan adanya kompetisi politik yang relatif seimbang. Kedua, proses yang secara aktif melibatkan kelompok rentan dan masyarakat yang akan terkena dampak peraturan. Ketiga, materi muatan peraturan yang memperhitungkan proses pemecahan masalah dan memperhatikan dampak peraturan pada kelompok rentan.
Institusi pembentuk peraturan tentu saja menjadi elemen penting dalam mendorong proses pembentukan undang-undang. Namun pembentukan undang-undang yang bertanggung jawab secara sosial memerlukan peran masyarakat sipil sebagai elemen penyeimbang atas berbagai kepentingan yang saling bersaing dalam pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, dorongan dari masyarakat sipil perlu diberi ruang dan diberdayakan. Salah satu cara untuk itu adalah dengan memberikan instrumen yang dibutuhkan masyarakat sipil agar peran ini bisa dijalankan dengan maksimal. Alasan itulah yang meyakinkan kami bahwa penyusunan “Buku Panduan Pemantauan Legislasi Daerah” merupakan salah satu jawaban praktis yang bisa diberikan untuk menjawab kebutuhan itu.
Buku Panduan ini melengkapi koleksi buku panduan yang sudah disusun oleh PSHK yaitu buku Panduan Pemantauan Legislasi dan Komik Panduan Pemantauan Legislasi yang merupakan panduan tentang pemantauan legislasi untuk parlemen tingkat nasional. Sementara buku ini berisi panduan untuk tingkat daerah.
Untuk mendapatkan buku tersebut silakan hubungi bagian dokumentasi dan informasi PSHK.