Meski sudah banyak berkecimpung dalam isu desentralisasi dan kebijakan daerah sejak awal pendiriannya (1998) utamanya lewat advokasi Undang-undang Pemerintahan Daerah tahun 1999 dan 2004, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) baru lewat penelitian yang akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku inilah mulai lebih dalam dan intens terlibat dalam isu kebijakan di tingkat lokal.
Penelitian ini dilakukan karena banyaknya peraturan daerah (perda) bermasalah yang muncul paska desentralisasi Tahun 1999. Berbeda dengan berbagai perubahan positif di tingkat nasional yang berjalan relatif cepat, di daerah perubahan tersebut sangat lamban, jika tidak ingin dibilang stagnan. PSHK yang selama ini aktif mencermati dan mendorong perbaikan proses pembuatan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional terdorong untuk melakukan hal yang sama di tingkat daerah.
Dari pengalaman bertahun-tahun melakukan monitoring terhadap kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, PSHK menyadari pentingnya arti sebuah proses yang baik sebagai jaminan (guarantee) terhadap kepastian substansi yang baik pula. Dari keyakinan inilah maka kemudian PSHK mengembangkan pendekatan Pembentukan Hukum yang Bertanggungjawab secara Sosial (socially responsible law making) yang PSHK mulai kembangkan secara serius sejak 2006.
Sebelumnya beberapa kategori Socially Responsible Law Making sudah beberapa kali digunakan dalam catatan tahunan PSHK terhadap kinerja DPR RI meski masih belum digunakan secara komprehensif sebagaimana yang digunakan dalam buku ini. Sebagai alat analisa tentu saja pendekatan pembentukan hukum yang bertanggungjawab secara sosial ini masih dapat terus berkembang. Kategori-kategori yang dipakai untuk menjelaskan pendekatan ini umpama daun muda yang nantinya bisa semakin kuat dan kokoh dikemudian hari jika terus dipakai, disebarluaskan dan dikembangkan. Meski demikian daun muda ini pun kami harapkan sudah bisa berkontribusi signifikan dalam pembaharuan hukum di tanah air.
Dinamika Perda yang bermasalah memang merupakan fenomena tersendiri di awal periode desentralisasi (1999). Berangkat dari fenomena inilah, PSHK mencoba menerapkan parameter Socially Responsible Law Making dalam proses penyusunan Perda. Dimana secara spesifik mencoba melakukan penilaian kualitas Perda-Perda yang dihasilkan di tiga daerah penelitian. Dari hasil proses penilaian inilah kemudian akan muncul rekomendasi-rekomendasi pembaharuan dan pembenahan proses pembuatan Perda yang dapat diadopsi oleh setiap daerah.
Penelitian juga dititik beratkan kepada model desentralisasi yang saat ini dianut oleh Indonesia dan bagaimana model tersebut berimplikasi terhadap Perda yang dihasilkan. Asumsi dasar yang digunakan adalah belum mapannya sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang Indonesia anut ternyata memiliki implikasi yang luar biasa terhadap kualitas perda-perda yang dihasilkan.
Sebagai sebuah parameter ideal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Socially Responsible Law Making juga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam menilai kualitas (proses dan substansi) suatu peraturan perundang-undangan untuk memastikan apakah peraturan tersebut baik atau buruk. Karenanya parameter ini akan sangat bermanfaat bagi para pembuat kebijakan dan para penguji produk peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang putusannya dalam menguji undang-undang dapat dengan mudah diakses, hasil putusan Departemen Dalam Negeri dan Mahkamah Agung yang selama ini melakukan uji materi terhadap Perda tidak demikian. Semua proses dan putusan dilakukan serba tertutup. Parameter penilaian yang digunakanpun masih sangat abstrak sebatas dua hal saja yaitu: a) bertentangan dengan ketertiban umum, dan b) bertentangan dengan hirarki peraturan perundang-undangan. Tidak heran jika kemudian banyak putusan yang dihasilkan baik oleh Departemen Dalam Negeri dan Mahkamah Agung kemudian dipertanyakan. Karenanya, penelitian ini juga menghasilkan rekomendasi-rekomendasi perbaikan terkait proses uji materiil dan formil Perda.
Penelitian penilaian kualitas Perda ini dilakukan di tiga daerah penelitian: Sumba Barat, Bulukumba dan DKI Jakarta bekerjasama dengan dua lembaga swadaya masyarakat daerah sebagai mitra lokal, Komisi Pemantau legislasi (KOPEL) di Makassar dan Bahtera di Sumba Barat. Meski keterlibatan mitra lokal jauh memudahkan dalam proses pengumpulan data lapangan namun bukan berarti tanpa kesulitan. Sikap tertutup dan ekstra hati-hati instansi pemerintah daerah dan DPRD masih ditemui utamanya ketika pengumpulan data peraturan tiap daerah dalam kurun waktu 2004-2009.
Bahkan, DKI Jakarta sebagai ibukota negara yang seharusnya dapat menjadi role model bagi daerah lain menjadi daerah yang paling sulit dalam pengumpulan data. Jika Bulukumba dan Sumba Barat dapat selesai dalam satu sampai dua minggu, pengumpulan data di DKI Jakarta bisa berlangsung satu bulan lebih karena ketertutupan pihak-pihak terkait. Nampaknya pemahaman dasar bahwa peraturan daerah merupakan dokumen publik masih belum dipahami dengan baik oleh para pejabat berwenang.
Terima kasih kepada KOPEL-Makassar dan Bahtera-Sumba Barat atas kerjanya yang luar biasa selama penelitian berlangsung. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Konrad Adenauer Stiftung (KAS) atas kepercayaannya kepada PSHK sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dan diterbitkan dalam bentuk buku.
Reformasi proses pembuatan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan daerah masih jauh dari selesai. Banyak hal masih harus dibenahi. Harapan kami mudah-mudahan buku ini bisa menjadi satu yang berkontribusi positif dalam pembaharuan tersebut.