Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerima surat Presiden Joko Widodo terkait 8 (delapan) nama Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Seleksi (Capim KPK) yang lolos seleksi oleh Panitia Seleksi (Pansel), pada September 2015 lalu. Kini sudah lewat 2 (dua) bulan sejak surat tersebut diterima, Komisi III DPR RI belum juga melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and propert test) terhadap para Calon Pimpinan KPK. Padahal, masa bakti para pimpinan KPK yang kini menjabat akan berakhir pada 16 Desember 2015.
Pemilihan Capim KPK akan dilaksanakan bukan hanya terhadap delapan calon yang mengikuti seleksi pada 2015 ini, tapi juga terhadap dua Capim KPK yang telah mengikuti seleksi pada 2014 yaitu, Busyro Muqoddas dan Roby Arya Brata. Dapat terjadi kedua nama terakhir tidak perlu lagi menjalani uji kelayakan, karena mereka telah menjalaninya pada Desember 2014 lalu.
DPR bahkan memanggil kembali Pansel Capim KPK untuk menyampaikan hasil seleksi kedelapan calon. Langkah DPR dan Pansel patut dikritisi, terutama karena DPR tidak memiliki legitimasi melakukan pemanggilan sebab tugas pansel telah selesai sejak penyerahan nama Capim KPK kepada Presiden Jokowi. Pansel Capim KPK bertugas dan bertanggungjawab kepada Presiden dan bukan kepada DPR. Jika DPR memutuskan untuk mengkritisi hasil seleksi, Presiden Jokowi lah yang sepatutnya dipanggil untuk menjelaskan, bukan Pansel KPK.
Sekalipun waktu untuk melakukan uji kelayakan semakin sempit, DPR justru kembali menunda uji kelayakan dan kepatutan terhadap Capim KPK. Upaya mengulur waktu tersebut terlihat dalam komentar para anggota dewan saat bertemu dengan Pansel Capim KPK. Salah satu dalih yang digunakan adalah tidak adanya perwakilan dari Kejaksaan yang masuk dalam daftar calon yang akan diuji oleh DPR. Komisi Hukum DPR juga mempersoalkan cara-cara Pansel bentukan Pemerintah melakukan proses seleksi.
Sikap DPR yang mengulur-ulur waktu sungguh tidak layak, mencurigakan dan tidak pernah ditemui pada periode sebelumnya. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) memandatkan DPR untuk melakukan uji kelayakan Capim KPK, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan pasca penyerahan nama-nama calon oleh Presiden. Jika DPR tidak memilih dalam jangka waktu tersebut atau memilih Pimpinan KPK kurang dari jumlah yang dimandatkan Pasal 30Ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, maka DPR telah sengaja membangkang terhadap perintah Undang-Undang.
Menariknya, bahkan Parpol pendukung Pemerintah pun tidak mendukung atas hasil kerja dari Tim Pansel Capim KPK bentukan pemerintah. Mereka justru beramai-ramai mempertanyakan kebijakan yang sudah dikeluarkan Pemerintah dan terang-terangan memilih posisi yang berseberangan dengan pemerintah. Hal ini juga turut menyebabkan terbengkalainya proses pemilihan Capim KPK di DPR, karena jika Parpol Koalisi tetap pada posisi mendukung Pemerintah, seleksi dapat tetap berjalan dengan berpegang pada nama-nama calon yang sudah diserahkan Presiden Jokowi. Kita khawatir bahwa proses seleksi ini coba diulur atau diganggu karena mayoritas calon pimpinan KPK yang disodorkan oleh Pansel tidak sesuai dengan “selera” atau belum “deal” dengan sebagian Parpol.
Jika Pimpinan KPK tidak dipilih hingga masa kerja Pimpinan KPK sekarang selesai atau 16 Desember 2015, KPK tidak dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang strategis terkait kelembagaan KPK. Hal ini juga menghambat kerja penindakan, karena penetapan tersangka dan kerja-kerja penindakan lainnya memerlukan ekspos perkara dengan pimpinan dan keputusan dari Pimpinan KPK.
Jika DPR tidak memilih 5 (lima) Pimpinan KPK sesuai mandat Undang-Undang KPK, perbuatan tersebut akan secara terang melemahkan kerja KPK. Jika KPK meminta Pansel untuk kembali melakukan seleksi, seleksi tersebut akan menghabiskan bukan saja waktu, tapi juga anggaran negara. Sikap DPR ini juga dapat dianggap sebagai sikap membangkang terhadap Undang-Undang KPK dan melanggar sumpah sebagai anggota DPR, dan bahkan dapat dijeratpidana karena menyalahgunakan kekuasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP.
Selain itu proses seleksi Capim KPK, upaya pelemahan KPK juga dilakukan melalui proses legislasi di DPR. Komisi III DPR – termasuk didalamnya para parpol pendukung Pemerintah – tetap berkeras membahas Revisi UU KPK yang substansinya jelas-jelas melemahkan KPK. Gangguan atas seleksi capim KPK dan upaya ngotot RUU KPK harus dimaknai sebagai upaya “pembalasan” atau “penyanderaan” Parpol terhadap KPK yang telah menjerat kader dan pimpinan Parpol dalam perkara korupsi. Faktanya telah banyak anggota DPR/D yang dijerat oleh KPK, sehingga pada titik tertentu ada kepentingan untuk melemahkan KPK agar daftar anggota DPR dan Parpol yang dijerat KPK tak bertambah panjang(terlampir).
Untuk itu, Koalisi Pemantau Peradilan meminta DPR untuk:
- Berhenti mempermasalahkan hasil seleksi Pansel Capim KPK karena domain tersebut sudah selesai sejak Pansel menyerahkan nama calon kepada Presiden;
- Segera melakukan uji kelayakan dan kepatutan serta memilih 5 (lima) Pimpinan KPK sesuai Perintah Undang-Undang KPK;
- Jika DPR tidak juga melakukan uji kelayakan dan memilih 5 (lima) Pimpinan KPK, maka Koalisi Pemantau Peradilan akan melaporkan anggota Komisi III DPR RI karena melanggar Sumpah Anggota DPR.
Jakarta, 22 November 2015
Koalisi Pemantau Peradilan